MENELADANI SEMANGAT PARA TOKOH YANG BERPERAN
DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSANTARA
1. Wali Songo
Walisongo dan para wali lainnya, telah berjuang dengan keras dan sungguh-sungguh untuk menarik minat masyarakat yang bukan Muslim untuk memeluk Islam. Dengan bijaksana, mereka berusaha memperkenalkan nilai¬nilai Islam kepada masyarakat, dan mengajak masyarakat untuk memeluk Islam. Dengan berbagai cara dan berbagai media, mereka menanamkan Islam di hati masyarakat. Dalam menyebarkan Islam, kebanyakan mereka betul¬betul mengajak masyarakat untuk melakukan syariat yang buipegang kepada sumber utama, yakni Al-Qur'an dan Al-Sunna-h.
Mereka menginginkan agar kepercayaan lama dikikis habis dan rakyat harus dididik sesuai dengan ajaran Islam. Semua ini tercermin dalam naskah¬naskah peninggalan zaman kewalen, zaman para wali menyebarkan agama Islam sexerti buku Wejangan Syaikh Bari yang ditulis oleh Sunan Bonang dan Primbon Jawa abad ke-16. Naskah-naskah tersebut menggambarkan pola pikir pesantren yang menentang ajaran pantheisme (ajaran yang memandang Tuhan bersatu dengan alam).
Selain itu, sebagian mereka menggunakan metode kultur,, yang menampilkan bentuk kebudayaan tertentu yang mengandung makna nasihat atau toleransi keagamaan. Dengan metode ini, mereka menghendaki agar adat istiadat dan kepercayaan lama, sedikit demi sedikit dikikis seraya diisi dengan adat istiadat yang bernapaskan Islam. Ibarat orang memancing ikan di kolam, ikan boleh didapat tanpa harus mengeruhkan air kolam.
Masih dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, kita melihat usaha para wali itu antara lain mendirikan masjid-masjid seperti Masjid Demak, Masjid Kudus dan sebagainya. Dalam bidang pendidikan mereka juga mendirikan pesantren, madrasah, lembaga-lembaga pendidikan agama pada umumnya antara lain di daerah Bonang dan Ampel. Selain itu dibentuk pula perkumpulan-perkumpulan tarekat. Para wali membuat syiar-syiar keislaman secara kreatif, dengan jalan mengadakan peringatan hari-hari besar Islam berupa perayaan dan upacara seperti Sekaten untuk Maulid Nabi Muhammad saw.
Perayaan Sekaten dipusatkan di alun-alun ibu kota Kerajaan Islam di Demak, yang dapat dinikmati bersama rakyat jelata serta khalayak ramai pada umumnya. Perayaan Sekaten ini dimulai tujuh hari sebelum tiba peringatan Maulid Nabi saw. yang tepatnya jatuh pada tanggal 12 Rabi'ul Awal. Sekaten diakhiri dengan upacara garebeg, yaitu upacara yang berpuncak pada pembacaan Siratun Nabiy (riwayat Nabi Muhammad saw.) dan Sedekah Selatan, yakni membagi-bagikan makanan hadiah dari Sultan di Masjid Besar. Acara ini dihadiri oleh Sultan dan pembesar-pembesar kerajaan. Sekaten ini satu-satunya upacara dan perayaan terbesar karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Besar Muhammad saw. Dalam saat-saat garebeg inilah, adipati-adipati, raja-raja muda, bupati-bupati, dan pembesar¬pembesar wilayah kerajaan diterima menghadap Sultan untuk menunjukkan sikap bakti dan hormat taatnya kepada Sultan sembari mangayu-bagja pada hari yang mulia lagi meriah itu. Selain Sekaten, hari-hari besar lainnya yang melibatkan upacara-upacara resmi kerajaan adalah Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Mungkin sekali bahwa selamatan-selamatan (sedekahan) yang menjadi tradisi di Jawa pada bulan-bulan tertentu, pada mulanya berasal dari shadaqah sunnah yang dianjurkan oleh para wali. Tujuan penyelenggaraannya, tidak lain untuk menyemarakkan syiar Islam sekaligus memperingati hari besar peristiwa-peristiwa penting dalam Islam. Shadaqah ini pada masa sekarang, karena telah jauh masanya dengan masa para wali itu, telah menyimpang menjadi sinkretisme yang sesat dan bid'ah. Masyarakat luas sudah tidak tahu lagi konteks persoalan apalagi nilai filosofis yang semua dianjurkan dan dijelaskan oleh para wali itu. Selain menyelenggarakan syiar seperti disebutkan, para wali melakukan pengislaman terhadap tokoh penting serta mengirimkan kader-kader untuk menjadi mubalig-mubalig atau imam-imam bagi suatu daerah.
Sebagai contoh, kelompok Sunan Ampel telah mengislamkan tokoh¬tokoh penting antara lain Adipati Aria Damar dan istri serta pemimpin dan masyarakat anak negerinya di Palembang. Kelompok ini juga telah berusaha mengislamkan Prabu Brawijaya dan permaisurinya Putri Campa, tetapi hanya permaisurinya yang mau menganut Islam. Sri Lembu Peteng di Madura, telali. memperoleh pengislaman dari Sunan Kalijaga, demikian pula halnya dengan Ki Gede Pandan Arang sang Adipati Semarang yang kemudian menjadi Wali Nawbah dengan gelar Sunan Tembayat, kemudian diikuti pula oleh Syekh Domba. Ki Cakrajaya dari Purworejo diislamkan pula oleh Sunan Kalijaga, dan menjadi Wali Nawbah juga, sedangkan Sunan Geseng hijrah ke Lowanu untuk berdakwah dan mengimami masyarakat di wilayah itu atas pesan Sunan Kalijaga.
Setelah melalui proses yang panjang, Islam berhasil tersebar ke berbagai penjuru Pulau Jawa, meski ada beberapa tempat yang tidak terjalin kontak dengan Islam secara intensif, bahkan ada yang tidak terjangkau oleh dakwah Islam. Hal ini tentunya akan memengaruhi tingkat keimanan, kekuatan Islam, dan pengamalan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam sikap, tingkah laku, dan hidup keberagaman umat Islam di Jawa. Dari aktivitas yang dilakukan Walisongo, maka hendaknya menjadi teladan yang harus kits ikuti, terutama dari semangat dakwah Walisongo dalam upaya menyebarkan ajaran Islam. Mereka tidak mengenal lelah, tetap semangat, dan telaten.
2. Teladan Para Ulama
a. KH. Wahid Hasyim
KH Wahid Hasyim berasal dari keluarga yang taat beragama, keluarga pesantren yang berpegang erat pada tradisi. Ia lahir, tumbuh, dan dewasa dalam iingkungan pesantren. Ibunya bernama Nafiah, putri KH Ilyas, pemimpin pesantren Sewulan di Madiun. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada Lembu Peteng (Brawijaya VI), yaitu dari pihak ayah melalui Jaka Tingkir (Sultan Pajang 1569-1587) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I.
Sejak usia 5 tahun ia belajar membaca Al-Qur'an pada ayahnya setiap selesai salat magrib dan dzuhur, sedang pada pagi hari ia belajar di Madrasah Salafiah di dekat rumahnya. Dalam usia 7 tahun ia mulai mempelajari kitab Fath al-Qariib (Kemenangan bagi Yang Dekat) dan al-Minhaj al-Qawim (Jalao Yang Lurus). Sejak kecil minat bacanya sangat tinggi. Berbagai macam kitab ditelaahnya. Ia sangat menggemari buku-buku kesusastraan Arab, khususnya buku Siiwan asy-Syu'ara (Kumpulan Penyair dengan Syair-syairnya).
Pada usia 13 tahun, Wahid Hasyim meniriggalkan Tebuireng menuju Pondok Siwalah Panji, tempat ayahnya pernah berguru. Di sana ia mempelaj art berbagai cabang ilmu agama. Buku-buku yang dibacanya di antaranya Sullam at-Taufiq (Tangga untuk Mendapat Taufik), Taqrib (Mendekatkan), Bidayah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid), dan Tafsir al-Jalalain (Tafsir bagi dua Tokoh Yang Bernama Jalal). Tidak berapa lama ia di sini, lalu ia pindah ke Pesantren Lirboyo di Kediri. Setelah itu ia kembali ke Pesantren ayahnya untuk selanjutnya lebih banyak belajar sendiri. Ia belajar aksara Latin pada usia 15 tahun. Dengan berbekal pengetahuan aksara Latin, ia menambah bacaannya dengan berlangganan berbagai surat kabar dan majalah. Tidak puas dengan hanya menguasai bahasa Arab dan aksara Latin, Wahid Hasyim lalu belajar bahasa Belanda dengan berlangganan Sumber Pengetahuan. Dengan banyak membaca buku dan surat kabar, Wahid Hasyim tumbuh menjadi pemuda yang berwawasan luas. Pada usia 17 tahun Wahid Hasyim mulai meniti kariernya sebagai guru di pesantren ayahnya.
Pada tahun 1932 Wahid Hasyim menunaikan ibadah haji pertama bersama KH Mohammad Ilyas (mantan Menteri Agama RI, kelahiran Probolinggo 1911), saudara sepupunya. Kesempatan selama di tanah suci dimanfaatkan Wahid Hasyim untuk memperlancar bahasa Arabnya sehingga ia fasih berbahasa Arab.
Ia melakukan perubahan dalam pesantrennya dengan mendirikan Madrasah Nizamiyah yang di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu agama dan umum sekaligus. Berbagai kritikan dan protes ulama dilontarkan kepadanya, namun semuanya ditanggapi dengan kepala dingin ternyata Madrasah itu dapat berkembang dengan pesat. Muridnya pun bertambah dari tahun ke tahun.
Untuk mengorganisasikan kegiatan para pemuda, Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI) tahun 1936. Ia sendiri yang menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman bacaan.
Sejak tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan perhatian pada kegiatan-kegiatan NU. Kariernya di NU dimulai dari bawah, yaitu sebagai selcretaris pengurus ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus cabang Jombang, kemudian terpilih sebagai anggota Pengurus Besar NU yang berkedudukan di Surabaya. Dari sini kariernya terus meningkat sampai menjadi Ketua Lembaga Pendidikan Ma' arifNU tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi organisasi politik, is pun dipilih sebagai Ketua Biro Politik NU tahun 1950.
Pada usia yang ke-25 (1938) Wahid Hasyim menikah dengan Siti Salehah, putri KH Bisri Syamsuri, pengasuh Pesantren Denanyar, Jombang, dan salah seorang yang ikut mendukung berdirinya NU.
Pada tahun 1939, ketika Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) meng-adakan konferensi, Wahid Hasyim terpilih menjadi ketua. Setahun kemudian, seusai Konferensi MIAI dan Kongres Muslimin Indonesia III yang hangat membicarakan perbedaan paham antara GAPI dan MIAI mengenai Indonesia berparlemen, milisi, dan transfusi darah. Pendapat lain mengemukakan bahwa alasan pengunduran diri adalah panggilan ayahnya untuk pulang dan memimpin pondok Pesantren Tebuireng, karena ayahnya merasa ticiak mampu lagi.
Wahid Hasyim pernah aktif di Masyumi dan menerbitkan majalah Suara Muslimin Indonesia. Isinya kebanyakan berupa imbauan kepada para pemuda untuk mengobarkan semangat jihad dan peperangan melawan Jepang. Di samping itu, Wahid Hasyim juga memelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggota-anggotanya di kader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan umum. Pada akhir tahtin 1944, Wahid Hasyim memboyong keluarganya ke Jakarta. Sejak itu perhatiannya tercurah sepenuhnya untuk kegiatan politik. Kariernya dalam bidang politik berawal dari kedudukannya sebagai Ketua II Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi) tahun 1945. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, sedangkan Ketua I dan Ketua III masing-masing Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo. Partai Masyumi ketika itu dinyatakan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia.
Pada tanggal 20 Desember 1949, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam kabinet Hatta. Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, menjadi menteri negara. Pada periode kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim tetap memegang jabatan menteri agama sampai akhir hayatnya.
Selama menjadi menteri agama, usahanya antara lain:
mendirikan Jam' iyah al-Qurra' wal Huffaz (Organisasi Qori dan penghafal Al-Qur'an) di Jakarta,
menetapkan tugas kewajiban kementerian agama melalui peraturan pemerintah no. 8 tahun 1950,
merumuskan dasar-dasar peraturan perjalanan haji Indonesia,
menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam kementerian agama.
Pada tahun 1952, is memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Syarekat Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Darul Dakwah wa al-Irsyad (tempat melaksanakan dakwah dan bimbingan). Susunan pengurusnya adalah KH Abdul Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai Wakil ketua I dan Haji Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II.
Ia senang menulis, tulisannya tersebar dalam bentuk pidato-pidato resmi, ceramah-ceramah keagamaan, dan artikel-artikel di media massa. Karya¬karya tulisnya, Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia, Berimanlah dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan, Kebangkitan Dunia Islam, Apakah Meninggalnya Stalin Berpengaruh pada Islam? Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Perimbangan Kekuatan Politik dari Partai¬partai dan Golongan-golongan, Kedudukan Ulama dalam Masyarakat Islam di Indonesia, dan Islam antara Materialisme dan Mistik.
KH Wahid Hasyim wafat dalam suatu kecelakaan mobil antara Cimahi dan Bandung pada tanggal 19 April 1953. Jenazahnya diterbangkan ke Tebuireng, dimakamkan di samping makam ayahnya.
Apa yang telah dilakukan oleh KH Wahid Hasyim merupakan cermin bahwa semangat juang harus menjadi landasan bagi siapa saja (termasuk kita sebagai kaum pelajar) yang ingin tetap menjaga kemajuan agama Islam di bumi 41,clonesia tercinta.
b. Syamsudin Sumatrani
Teladan lainnya ialah ulama besar dari Sumatra yaitu Syamsudin Sumatrani yang nama lengkapnya adalah Syekh Syamsudin bin Abdillah as-Sumatrani, sering juga disebut Syamsudin Pasai. Ia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasawarsa terakhir abad ke-16 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-17. Ia dan Syekh Hamzah Fansuri, yang di duga adalah gurunya, dikenal sebagai dua pemuka tasawuf yang menganut paham wandatul wujud dan biasanya disebut sebagai tokoh wujudiyah.
Dari berbagai sumber itu, dapat dipahami bahwa Syekh Syamsudin Sumatrani adalah orang penting di istana Sultan, tetapi tidak jelas apa jabatan yang diberikan kepadanya. Bustaan as-Salaatin; karya tulis Syekh Raniri (w. 1658/1069 H), yang banyak membicarakan para ulama yang datang dan mengajar di Aceh pada abad ke-16 dan 17, buku-buku yang mereka karang, dan ilmu-ilmu yang mereka ajarkan, hanya menyinggung nama Syamsudin Sumatrani tatkala menyebut pembesar-pembesar yang hadir pada upacara-- upacara yang berkaitan dengan Iskandar Tsani. Berita tentang wafatnya Syamsudin Sumatrani dalam buku tersebut dikaitkan dengan berita tentang kekalahan armada Aceh di Malaka.
Dari karya tulis Araniri itulah diketahui bahwa Syamsudin Sumatrani wafat pada tahun 1630 (1039 H), sedang tahun kelahirannya tidak diketahui. Dipahami pula is seorang ulama tasawuf yang masyhur, tetapi masih belum jelas apa jabatan yang dipegangnya di istana. Frederick de Houtman, seorang pelaut Belanda yang pada tahun 1599 (1008 H) ditawan di Banda Aceh, menyebut dalam bukunya tentang Syekh, penasihat agung Raja, tetapi tidak ada keterangan lain tentang Syekh itu. Duta kerajaan Inggris, Sir James Lancaster, yang datang ke istana Sultan Aceh pada tahun 1602 (1011 H), menyebut imam kepala (chiefe bishope) yang dihormati raja dan rakyatnya, bijaksana dan berwibawa, dan ikut dalam perundingan antara perutusan Inggris dan pihak Aceh. Para peneliti cenderung pada kegtmpulan bahwa Syekh yang menjadi penasihat agung raja itu, dan imam kepala tersebut tiada lain dari Syekh Syamsudin Sumatrani. Ada sarjana yang menetapkan bahwa syekh ini, baik pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah IV (1589-1604/997¬1013 H) maupun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636/1016-1045 H) diangkat menjadi kadi al-Malik al-Adil, orang kedua dalam Kerajaan Aceh dan menjadi Ketua Balai Gadang.
Belasan buku atau risalah telah dikarangnya. Boleh j adi karangannya yang bersama karangan-karangan Hamzah Fansuri dan ulama wujudiyah lainnya, dibakar oleh pihak penguasa ketika Syekh Nurudin Raniry (anti pada paham wujudiyah) menjadi mufti pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani. Karangan-karangannya sebagian dalam bahasa Arab dan sebagian lagi bahasa Melayu, tetapi semua judulnya berbahasa Arab, yang jika diterjemahkan berbunyi: Cermin Kaum Beriman, Permata Hakikat, Komentar terhadap Rubai Hamzah Fansuri, Risalah yang menjelaskan Pandangan Kaum Muwahid dan Kaum Mulhid dalam Mengingat Allah, Hakikat Makrifah, dan lain-lain.
Ia juga membicarakan martabat tujuh, yang pada dasarnya seperti paham martabat tujuh al-Burhanpuri. Tentang makrifah, ia mengajarkan bahwa orang yang mengetahui hanya aspek tamzih atau perbedaan Tuhan dengan alam, maka orang itu belum mempunyai makrifah yang sempurna. Orang yang hanya meyakini kesamaan (tasybih) antara keduanya, berarti ia jahil dan kafir. Orang yang memiliki makrifah (pengetahuan) yang sempurna adalah orang yang mengetahui aspek perbedaan (tanzih) dan aspek kemiripan (tasybih) antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
Dari cara berpikir Syamsudin Sumatrani yang mengagumkan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau merupakan sosok ulama yang mengutamakan keuletan dalam berpikir, sehingga melahirkan berbagai karya dalam bidang agama Islam, terutama dalam pendalaman akidah Islam.
c. Syekh Nawawi al-Bantani
Ulama besar ini lahir 1230 H/1813 M di Banten Jawa Barat, meninggal di Mekah 1314 H/1897 M. Seorang ulama besar, penulis, dan pendidik dari Banten. Nama aslinya adalah Nawawi bin Umar bin Arabi. Ia disebut juga Nawawi al-Bantani. Di kalangan keluarganya, Syekh Nawawi al-Jawi dikenal dengan sebutan Abdul Mukti.
Ayahnya bernama KH Umar bin Arabi, seorang ulama dan penghulu di Tanara, Banten. Ibunya, Jubaedah, penduduk asli Tanara. Dari silsilah keturunan ayahnya, Syekh Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin) putra Maulana Syarif Hidayatullah.
Syekh Nawawi terkenal sebagai salah seorang ulama besar di kalangan umat Islam Internasional. Ia dikenal melalui karya-karya tulisnya. Beberapa julukan kehormatan dari Arab Saudi, Mesir, dan Suriah diberikan kepadanya seperti Sayid Ulama al-Hedzjaz, Mufti, dan Fadih. Dalam kehidupan sehari¬hari ia tampil dengan sangat sederhana.
Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu, ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun, ia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di Mekah ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali. Sekitar tahun 1248H/1831M, ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajar di sana.
Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, di Mekah ia berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumulawini, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.
Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih kurang 30 tahun, Syekh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidil Haram. Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Indonesia, seperti KH Khalil (Bangkalan, Madura), KH Asy'ari (Bawean, Madura), dan KH Hasyim Asy'ari (Jombang, Jawa Timur). Ada pula yang berasal dari Malaysia, seperti KH Dawud (Perlak). Ia mengajarkan pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya, yang meliputi hampir seluruh bidang.
Di samping membina pengajian, melalui murid-muridnya Syekh Nawawi memantau perkembangan politik di tanah air dan menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia cii Mekah ia aktif membina suatu perkumpulan yang disebut Koloni Jawa, yang menghimpun masyarakat Indonesia yang berada di sana. Aktivitas Koloni Jawa ini mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari pemerintah Kolonial Belanda.
Syekh Nawawi memiliki beberapa pandangan dan pendirian yang khas, di antaranya dalam menghadapi pemerintah kolonial, ia tidak agresif atau reaksioner. Ntamun demikian, ia sangat anti bekerja sama dengan pihak kolonial dalam bentuk apa pun. la lebih suka mengarahkan perhatiannya pada pendidikan, membekali murid-muridnya dengan jiwa-jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang selain Muslim yang tidak menj aj ah, ia membolehkan umat Islam berhubungan dengan mereka untuk tujuan kebaikan dunia. Ia memandang bahwa semua manusia adalah saudara, sekalipun dengan orang luar Muslim. Ia juga menganggap bahwa pembaruan dalam pemahaman agama perlu dilakukan untuk terus menggali hakikat kebenaran. Dalam menghadapi tantangan zaman, ia memandang umat Islam perlu menguasai berbagai bidang keterampilan atau keahlian. Ia memahami "perbedaan umat adalah rahmat" dalam keragaman kemampuan dan persaingan untuk kemajuan umat Islam.
Dalam bidang syariat, ia mendasarkan pandangannya pada Al-Qur'an, Hadi§, Ijmak, dan Qiyas. Ini sesuai dengan dasar-dasar syariat yang dipakai oleh Imam Syafi'i karena di dalam masalah fikih ia mengikuti mazhab Syafi'i. Mengenai ijtihad dan taklid, ia berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak ialah Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali. Bagi mereka haram bertaklid, sedangkan orang-orang selain mereka, baik sebagai mujtahid Fi al-Mazhab, Mujtahid al-Mufti, maupun orang-orang awam/masyarakat biasa, wajib bertaklid kepada salah satu mazhab dari mujtahid mutlak.
Kelebihan Syekh Nawawi telah terlihat sejak kecil. Ia hafal Al-Qur'an pada usia 18 tahun. Sebagai seorang Syekh, ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh, dan bahasa Arab. Pendirian-pendiriannya, khususnya dalam bidang ilmu kalam dan fikih, bercorak Ahli Sunnah Wal-Jamaah. Keahliannya dalam bidang-bidang ilmu tersebut dapat dilihat melalui karya-karya tulisnya yang cukup banyak. Menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 115 buah, sedangkan menurut sumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri atas berbagai disiplin ilmu agama. Di antara karangannya, dalam bidang tafsir ia menyusun kitab Tafsir al-Munir (yang memberi sinar).
0 Komentar untuk "MENELADANI SEMANGAT PARA TOKOH YANG BERPERAN DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSANTARA"