MENUJU
JALAN RUHANI YANG HAKIKI
Ajid
Thohir, M.Ag
Bismillahirrahmanirrahim
Ilaahi anta maqshudi wa
ridlaka mathlubi a’thini mahbbataka wa ma’rifataka
Mukadimah
Memasuki hakekat dunia
ruhani (spiritual) keagamaan, secara umum nampaknya memang cukup sulit dan
rumit. Akan tetapi, melalui TQN semua ikhwan diharapkan mampu dan senang untuk
terus menapaki jalan yang akan dilaluinya sekalipun cukup berliku dan mendaki
yakni menuju wushul ilallah. Melalui
bimbingan Mursyid Kamil wa Mukammil
yang terus-menerus membimbing semua murid dan ikhwan dengan segenap kekuatan
lahir dan bathinnya yang telah disempurnakan (al-mukammil) oleh Allah SWT merupakan realitas dunia sufi yang
terus berjalan dari waktu-ke waktu. Para murid dan ikhwan TQN yang memiliki
latar belakang dan potensi kemanusiaan yang bermacam ragam, serta dengan watak
dan berbagai persoalannya masing-masing, secara antusias terus mendatangi
Pangersa Abah Syekh Ahmad Shahibul Wafa Tajul’Arifin, dan dengan sabarnya
beliau terus dan senantiasa membimbingnya serta mendo’akannya. Mereka para
murid dan ikhwan terus-menerus menarik dan mengambil energi ruhani dari beliau
agar jalan pikiran dan perasaannya bisa disambungkan dengan Allah SWT, kapan
dan dimana saja, dalam kondisi serta situasi apapun. Apalagi situasi umat Islam
yang semakin hari-semakin banyak persoalan dan bagaimanapun juga berbagai
tekanan materialisme terhadap jiwa manusia semakin terasa dari hari ke hari;
dari mulai himpitan ekonomi, keluarga sampai pada persoalan-persoalan theologi
dan sebagainya.
Kesadaran bahwa jiwa-jiwa mereka terasa masih
kotor, lemah dan kerdil terutama ketika menghadapi berbagai persoalan duniawi,
merupakan problema pokok yang hampir dirasakan semua murid dan ikhwan dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, pertemuan antara murid dan
mursyid yang membimbingnya sangat dianjurkan bahkan menjadi sesuatu yang wajib
dalam etika dunia tarekat, tasawuf. Pertemuan yang dilakukan dalam bentuk
pertemuan baik secara lahiriyah maupun bathiniyah, merupakan hal yang sangat
logis. Karena pertemuan tersebut selain untuk mendapatkan barakah, juga secara psikologis bisa menumbuhkan perasaan dan
semangat (ghirah) keagamaan. Mungkin
ini hikmah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai pernyataan
haditsnya, bahwa bertemu dengan para ulama yang mengamalkan ilmunya (ulama al-‘amilin) dan hamba Allah yang shaleh (‘ubbadusshalihin) adalah bagian dari ibadah. Sehingga
istilah rabithah sebelum para murid
dan ikhwan melakukan amaliyahnya, merupakan bentuk silatuhami ruhani antara
murid dengan mursyid-nya. Menurut Syekh Ahmad bin Muhammad bin ‘Iyad, bertemu
secara fisik sebaiknya biasa dan bisa dilakukan oleh seorang murid terhadap
mursyidnya minimal satu munggu atau se-jum’at sekali, karena melalui kontak
fisik akan semakin menambah ghirah
beribadah dan mendapatkan cahaya nur
ilahi secara langsung dari wajah dan dari tangan mursyidnya.
Mursyid dan Otoritas Pengembagan Ruhani Murid
Berbeda dengan para
pencari pengetahuan lainnya, menapaki jalan spiritual perlu dan harus didampingi
oleh seseorang yang sudah memiliki pengalaman ruhani dan memiliki otoritas
dalam mengembangkannya. Sekalipun memang dalam semua kegiatan proses
belajar-mengajar, secara normal dan alamiyah harus terdiri antara guru dan
muridnya. Seseorang yang otodidak dalam belajar elektronik, matematika atau
ilmu bangunan dan sebagainya yang sifatnya masih sederhana, masih ditolerir
tanpa berhadapan langsung dengan gurunya, karena tingkat kecelakaan atau
kesalahan dari apa yang dilakukannya, tidak berdampak total pada diri seorang
pelajar tersebut. Istilah belajar dari kesalahan (trial and error) dalam pengembangan sains dan teknologi, mungkin
sebagai sesuatu yang wajar dan biasa. Tapi dalam persoalan jalan ruhani yang
menyangkut serta berkait erat dengan persoalan-persoalan, theologi/aqidah,
serta penyikapan terhadap berbagai hakikat syari’at, maka kesalahan seseorang
dalam menapakinya karena tidak adanya mursyid yang membimbingnya, akan
berakibat sangat fatal. Mereka akan menjadi mainan dan bulan-bulanan iblis laknatullah. Seperti yang
dikhawatirkan Syekh Yazid al-Busthomy, bagi siap saja yang akan menapaki jalan
ruhani, tapi tidak ada mursyid yang membimbingnya, maka pembimbingnya syaithon.
Karena iblis atau syaithon telah berjanji dalam al-Qur’an, bahwa ia akan senantiasa
mencegah sampainya seseorang pada jalan ruhani yang hakiki, yakni jalan lurus
menuju Allah SWT (la aq’udannahum
shirataka al-mustaqim). Mereka berada di sebelah kanan dan kiri, di depan
dan belakang, di atas dan bawah senbagai para penggoda dan pengganggu yang
terus-menerus siap menerkam si salik atau murid. Para syaithon sebagai penggoda
dan pengganggu ini menunggu lengahnya si murid, mereka siap menyelinap dalam
setiap qolbu murid yang masih belum bisa mengendalikan hawa nafsunya. Terkadang
sekilas terasa benar apa yang diperbuat dan dilakukannya selama ini, padahal
bisa jadi masih berupa jebakan-jebakan bahkan hanya sebagai phatamorghana (bayangan) belaka.
Perjalanan si murid akhirnya banyak terganggu oleh berbagai liku panorama
spiritual yang mengasyikkan padahal (bahkan) mengerikan, baik bagi keselamatan
jiwa atau raganya. Hanya dengan mursyid yang ‘arif yang bisa melihatnya dengan
rahmat Allah SWT yang tentunya untuk selanjutnya bisa mengarahkannya. Di
sinilah perlu terpadunya seorang murid dengan mursyid yang“’alim” dan “’arif”; alim
dalam pengetahuan aqidah dan syari’ah, ‘arif dalam berbagai pengalaman
spiritual. Sehingga seorang mursyid sangat menguasai hal-hal yang abstrak dari
mulai potensi dasar muridnya, perkembangan jiwanya, prilaku dan potensi
ruhaninya.
Syekh Abdul Qodir
al-Jilany dala kitabnya al-Ghunyah li
Thaliby Thariqi al-Haq (juz II;160-161), menjelaskan proses pengembangan
sekaligus perjalanan si murid dalam mengolah hakikat ruhaninya bersama
mursyidnya, dari seorang mutashawwif menuju
seorang sufi, paling tidak ke dalam
tahapan berikut ini:
Pertama, si
murid bersungguh-sungguh dan berkonsentrasi dalam menghadapi dirinya, nafsunya,
syaithan dan segenap makhluk Allah SWT termasuk juga dunia dan akheratnya.
Beribadah kepada Allah SWT tanpa mengenal arah dan mengharap sesuatu.
Meninggalkan dan menetapkan sesuatu perbuatan hanya karena Allah. Membersihkan
jiwa dengan mengarahkannya dari kesibukan dan kecenderungan dengan yang selain
Allah. Menghindari ajakan-ajakan syaithon dan menjauhkannya dari urusan-urusan
yang serba materi (sikap materialistik). Menghindari dari berbagai pergaulan
berdasarkan syari’at demi tujuan akherat.
Kedua, setelah berjuang mengendalikan hawa
nafsunya ia-pun berusaha untuk meninggalkan harapannya terhadap akherat dan
segala yang telah dijanjikan Allah kepadanya, seperti surga. Ibadahnya bukan
semata-mata untuk itu, tapi lebih jauh karena cintanya kepada Allah yang telah
banyak memberikan karunia padanya. Ia keluar dari dimensi-dimensi duniawi dan
memasuki dimensi ilahi; sehingga ia bisa terlepas dari berbagai ikatan dan
kausalitas, sepert keluarga atau anak-anaknya. Dalam kondisi seperti ini, ia
telah tertutup baginya sebuah arah materi, tetapi terbuka baginya berbagai arah
dan pintu dari segala pintu yakni keridlaan pada segala keputusan ilahi. Ia
akan berbuat seperti orang yang sudah tahu apa yang sedang dan akan terjadi,
mengetahui segala rahasia dan segala yang tersembunyi dalam mata hatinya.
Ketiga, terbukanya pintu “qurbah” yang menyampaikan si murid pada Allah. Ia hilang dari
tingkatan manusia dan memasuki kehadirat ilahi (kursy al-tauhid).
Kempat, si murid memasuki alam kesendirian (al-fardaniyah), hilanglah baginya segala
penghalang, dan terbukalah Yang Maha Agung dan Maha Mulia (Allah SWT). Apabila si
murid telah sampai pada tahap ini, maka ia ada tanpa ada jasad; fana dari diri
(nafs), sifat-sifatnya,
lingkungannya, kekuatannya, gerakan kehendak dan cita-cita duniawi serta
akheratnya. Jadilah ia seperti air
bersih dan jernih (al-shafy) dalam
sebuah gelas yang bisa memantulkan dan menembus bayangan dengan jelas. Tidak
ada yang bisa menghukuminya kecuali kekuasaan dan kehendak Tuhannya. Ia fana dari dirinya tetapi berada dan
kekal pada Tuhan dan kehendak-Nya. Ia tidak lagi memerlukan khalwat, karena khalwat
biasanya untuk sesorang yang masih memerlukan wujud, ia adalah bayangan Tuhan (wa nuqallibuhum dzat al-yamin wa dzat
al-syimal, QS al-Kahfi; ). Ia adalah, sejatinya seorang sufi.
Untuk memasuki pada tahapan-tahapan jalan ruhani
ini, perjalanan seorang salik atau murid sangat bergantung bagaimana mursyid
yang akan membimbing, mengarahkan serta mengembangkannya. Disamping itu
tentunya tergantung pula pada potensi si murid serta yang paling utamanya
adalah kesungguhan untuk menapaki jalan ruhani yang hakiki ini. Boleh jadi
perjalanan seseorang untuk menempuh maqam yang hakiki ini, berjalan sangat lama
bahkan berputar-putar belum saja tercapai, sampai datang waktu ajalnya. Tapi
paling tidak, sekalipun demikian sebenarnya ia sedang berusaha, dan merasakan berada pada jalan ruhani yang hakiki dalam
dirinya. Ia sedang berjihad, dan bisa jadi nilainya bukan pada puncak maqam itu
sendiri, tapi pada nilai kesungguhannya. Karena seseorang yang memasuki jalan
ruhani dengan tujuan mencapai maqam seperti itu, juga merupakan perbuatan yang
keliru, ia malah terjebak menjadi pengharap maqam (‘abdal-maqam), bukan keridloan Tuhannya, na’udzubillah.
Oleh karenanya mengawali
memasuki dunia tarekat sufi, pertama harus menguatkan aqidahnya, memahami
syari’ah fiqihnya serta luruskan niat memasukinya, serta berpegang teguh pada
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mencari guru mursyid kamil wa mukammil yang siap akan membimbing, mejaga dan
mengarahkannya dari berbagai tipun dan godaan seperti dijelaskan di atas. Tidak
dibenarkan memiliki beberapa mursyid dalam satu jenis tarekat, karena
dikhawatirkan setiap mursyid akan berbeda dalam membimbing dan memberikan
metodenya, sehingga kelak akan menyulitkan bagi si murid sendiri dalam menapaki
jalan ruhani yang sedang ditempuhnya melalui tarekat yang diamalkannya
(al-Jilany, juz II;166). Wallahu a’lam bi
shawab***, insya Allah bersambung…
0 Komentar untuk "MENUJU JALAN RUHANI YANG HAKIKI"