QATH’I DAN ZHANNI
Lilis D. Hadaliah
Lilis D. Hadaliah
Masalah qath’i dan Zhani adalah salah satu obyek bahasan penting dalam dunia Ushul Fiqh. Pemahaman yang jelas terhadap masalah ini sangat membantu seseorang untuk mencapai kepastian hukum yang terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dengan meneliti dan mengetahui keberadaan qath’i dan Zhanni ini, seorang mujtahid dapat mengetahui mana masalah yang menjadi obyek ijtihadnya dan mana yang bukan.
Pembicaraan masalah Qath’i dan Zhanni mesti bermula dari pembahasan mengenai al-quran dan al-Sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam, yang lazim pula disebut dengan istilah dalil syara’.
Pada dasrnya untuk mengidentifikasi dalil qath’i dan Zhanni dilakukan penelitian terhadap setiap ayat-ayat dari al-Quran dan matan al-hadits melalui pendekatan semantik atau kebahasaan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, untuk menentukan qath’i dan Zhanninya suatu dalil para ulama usul tidak semata-mata menggunakan pendekatan semantik, melainkan juga dengan cara melihat dan membandingkan beberapa dalil, yang ada saling keterkaitan satu sama lain.
Tanpa bermaksud menyajikan uraian terlalu terinci dan panjang lebar, di dalam makalah ini akan diketengahkan beberapa masalah, antara lain ; pengertian qath’i dan Zhanni al-dilalah, al-Quran dan al-Sunnah dari segi qath’i serta zhanni, al-dilalah dan subutnya, dan sepintas pandangan al-Asnawi dan al-Syatibi mengenai qaht’i dan zhanni.
Pengertian Qath’i dan Zhanni
Sebagaimana telah disinggung, bahwa berbicara masalah qath’i dan dzanni mesti berawal dari pembahasan tentang dalil syara’. Dalil menurut Abd al-Wahhab Khalaf, adalah :
ما يستد ل با لنظر الصحيح فيه على حكم شرعي عملى سبيل القطع او الظن.
Jumhur Ulama Ushul berangkat bahwa dalil syara’ itu ada empat macam; al-Quran, al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas.Menurut istilah ulama usul, dalil qath’i adalah :
ما د ل على معنى متعين فهمه منه ولا يحتمل تأويلا ولا مجا ل لفهم معنى غيره منه
Artinya : kurang lebih : (dalil qath’i ) adalah nash yang menunjukkan arti yang jelas dan tegas, tidak mengandung kemungkinan ta’wil serta tidak ada peluang untuk memahaminya dengan makna lain.Dalil zhanni adalah nash yang menunjukkan kepada arti tetentu tetapi mengandung kemungkinan untuk di ta’wil dan dipalingkan dari makna ini dan yang dimaksud adalah makna lain.
Teagasnya , yang dimaksud dengan dalil qath’i itu adalah suatu dalil, baik berupa ayat al-Quran maupun al-Hadits , yang mempunyai suatu arti yang jelas dan tegas, tidak ada kemungkinan arti samar-samar di antara sekian banyak arti seperti nash yang menggunakan lafaz musytarak.
Ditinjau dari segi proses sampainya al-Quran kepada umat, tak seorangpun yang meragukan bahwa al-Quran tersebut adalah qath’i al- Subut. Artinya , tidak ada kearaguan sedikitpun akan keaslian dan kebenaran al-Quran seabagai firman Allah. Rasulullah, begitu menerima wahyu, langsung menyampaikannya kepada para sahabat dan menyuruh mereka menghafal wahyu tersebut. Dengan anugrah daya ingatan yang kuat, para sahabat dengan mudah menghafal ayat demi ayat dan bahkan ada pula yang menulisnya untuk kepentingan pribadi. Demikianlah, para sahabat itu senantiasa menghafal ayat-ayat al-Quran, mendiskusikan isinya dan mengamalkannya.
Pendek kata, tat kala Rasulullah wafat al-Quran telah sempurna diterima oleh para sahabat dan terpelihara di dalam hafalan dan catataan.
Uapaya pemeliharaan terhadap keaslian dan kemurnian al-Quran dilakukan lebih intensif pada zaman khalifah Abu bakar. Upaya ini dilakukan bermula dari usul Umar Ibn al-Khattab. Khalifah Abu bakar membentuk sebuah panitia khusus dibawah pimpinan Zaid Ibn Tsabit yang bertugas mengkodifikasikan al-Quran. Al-Quran dikodifikasikan sesuai sistematika yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Kodifikasi hasil kerja panitia inilah yang disebut mushaf yang menjadi rujukan bagi upaya penggandaan di Zaman Khalifah Usman Ibn ‘Affan, yang kemudian disebarkan ke berbagai daerah dan sampai kepada kita sekarang.
Tegasnya, al-Quran itu qath’i al-Subut, tidak ada keraguan sedikitpun. Memang Allah sendiri telah menjamin terpeliharanya al-Quran tersebut dari segala penyimpangan, pengurangan maupun penambahan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman –Nya :
Adapun bila ditinjau dari segi dilalahnya, para ulama usul berpendapat bahwa dilalah yat-ayat al-quran itu terdiri dari qath’i al-Dilalah dan zhanni al-Dilalah.
Dilalah ayat dua belas surat al-Nisa di atas adalah qath’i . Artinya, seorang suami mendapat seperdua dari harta peninggalan sang istri, jika tidak ada anak. Jadi jumlah warisan yang harus diterima oleh suami mesti seperdua, tidak boleh dipahami dengan makna lain, baik untuk menambah maupun mengurangi jumlah yang telah ditetapkan oleh ayat tersebut.
Begitu pula ayat dua surat al-Nuur di atas, dilalahnya, adalah qath’i bahwa hukuman orang yang berzinah itu seratus kali dera (jaldah), tidak boleh kurang atau lebih.
Lafaz quru’ dalam ayat ini mempunyai arti ganda, bisa berarti “suci” dan bisa pula berarti “haid”. Jadi masa ‘idah wanita yang ditalak itu bisa selama tiga kali suci dan bisa pula selama tiga kali haid. Perbedaan arti atas membawa konsekuensi hukum tertentu. Bila lafaz quru’ itu diartikan”suci”, maka masa ‘idah tersebut relatif lebih lama di banding kalau diartikan haid.
Pada umumnya para ulama usul berpendapat bahwa nash-nash al-Quran yangmenggunakan lafaz musytarak, mutlak, ‘am dan sejenisnya adalah zhanni al- dilalah.
Berbeda dengan pendapat jumhur, ulama Hanafiah berpendapat bahwa lafaz ‘am di dalam al- Quran itu adalah qath’i al- dilalah, sejauh tidak ada qarinah yang memalingkan makna hakiki kepada makna lain, sebab tidak dibenarkan menggunakan lafaz majazi kecuali bila ada qarinah. Sebagai konsekuensi dari pandangan ulama hanafiah ini, maka jumlah ayat qath’i di dalam al-Quran itu cukup banyak.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa, ditinjau dari segi subutnya , al-Quran itu qath’i al-Subut. Sedangkan bila di lihat dari segi dilalahnya, ayat-ayat al-Quran itu ada yang qath’i dan ada pula yang zhanni.
Sebelum sampai kepada pembahasan mengenai qath’iahnya dan zhanniah al-Sunnah, terlebih akan dikemukakan uraian sepintas kilas tentang pengertian al-Sunnah itu sendiri dengan beberapa aspeknya.
Al-Sunnah itu ada tiga macam : Qauliyah, Fi’liyah, dan Tarqririuah. Sunnah Qauliyah ialah ucapan nabi yang disampaikan dalam berbagai kejadian dengan berbagai tujuan. Misalnya sabda Rasul ;
Sunnah Fi’liyah ialah segala tindakkan Rasul dalam kedudukkan beliau sebagai utusan Allah. Seperti praktek salat, praktek ibadah haji dan sebagainya.
Sunnah Taqririyyah adalah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat yang disetujui oleh Rasul secra diam-diam, atau tidak dibantahnya maupun melalui yang baik.
Bila dilihat dari segi jumlah perawinya, al-Sunnah itu dibedakan kepada tiga macam : al-Sunnah al-Mutawatirah, al- Sunnah al-masyhurah, dan Sunnah al-Ahad.
Kebanyakan yang berderajat mutawatir ini adalah al-Sunnah al-Fi’liyah, dan sedikit sekali dari al-Sunnah al-Qauliyah.
Dari dua definisi di atas dapat dibedakan antara al- Sunnah al- Mutawatirah dan al- Masyhurah sebagai berikut : Al-Sunnah al-Mutawatirah, sejak diterima dari Nabi hingga sampai kepada kita, jumlah perawinya selamanya mencapai jumlah mutawatir. Sedangkan al-Sunnah al-Masyhurah, pada mulanya jumlah perawinya tidak mencapai derajat mutawatir; yang menerima langsung al-Sunnah tersebut dari Rasulullah hanya jumlah mutawatir. Kemudian pada fase-fase berikutnya jumlah perawi terus bertambah dan mencapai derajat mutawatir.
Kemudian, ditinjau dari segi nilainya, Sunnah al-Ahad ini dibagi kepada tiga bagian : sahih, hasan, dan daif.
Kembali kepada penilaian terhadap al-Sunnah menurut qath’iyahnya dan zhannniyahnya, baik dari segi subut maupun dilalahnya, para ahli Usul berpendapat bahwa al-Sunnah al-Mutawatirah itu qath’i al-subut, pasti datangnya dari Rasulullah SAW. Sedangkan al-Sunnah al-Masyhurah qath’i al-subut dari seorang atau beberapa orang sahabat, tetapi tidak qath’i al-Subut dari Rasulullah, sebab jumlah orang-orang yang pertama menerima dari Rasulullah tidak mencapai derajat mutawatir. Namun ulama Hanafiah memandang al-Sunnah al-Masyhurrah ini sebagai al-Sunnah al-Mutawatir, lalu mereka berkenan menggunakannya untuk mentkhsis lafaz ‘am dalam al-Quran dan mentaqyid yang mutlak. Menurut mereka, al-Sunnah alMasyhurrah ini wajib diamalkan, namun orang yang mengingkarinya tidak dipandang kupur ; sedangkan al-Sunnah al-Mutawatir wajib diamalkan dan kufur orang yang mengingkarinya. Sementara Sunnah al-Ahad adalah zhanni al-subut, karena sanad atau perawinya tidak meyakinkan sehingga ada kemungkinan apa yang di sampaikan itu bukan berasal dari Rasul.
Bila ditinjau dari segi dilalahnya, maka ketiga macam al-Sunnah yang telah dikemukakan di atas, mutawatir, masyhur, dan ahad, ada yang bernilai qath’i dilalah dab ada pula zanni al- dilalah. Dipandang qath’i al-dilalah, apabila teks atau nash al-Sunnah tersebut tidak konotasi lain. Sebaliknya bila teks atau nash itu mendukung beberapa konotasi sehingga memungkinkan untuk dita’wil, maka al- sunnah tersebut dipandang zanni al- dilalah.
Ringkasnya, kalau diklasifikasikan, al sunnah tersebut ada yang qath’i al-subut sekaligus qath’i al-dilalah; ada yang qath’i al subut tapi zanni al dilalah; ada yang zanni al- subut tapi qath’i al- dilalah; dan ada pula yang zanni al- subut sekaligus zanni al-dilalah.
Demikianlah para ulama usul sepakat bahwa dalil itu, al-Quran dan al-Sunnah, terbagi kepada qath’i al- dilalah dan zanni al- dilalah, walupun cara dan tolok ukur untuk menentukan qath’i dan zanni itu tidak selalu sama. Boleh jadi apa yang oleh segolongan ulama dipandang qath’i justru dinilai zanni oleh kaca mata kelompok ulama lain.
Pada bagian akhir makalh ini ada baiknya diketengahkan kalau hanya selayang pandang , pandangan al-Syatibi tentang Qath’i dan Zhanni.
Seperti tokoh Usul lainnya, al-Syatibi juga menaruh perhatian sangat besar terhadap masalah qath’i. Dalam kitabnya al-Muwafaqqat, Juz I, al-Syatibi menegaskan kepada pembacanya bahwa premis-premis (muqaddimat) yang digunakan dan dasar ilmu usul al-fiqh ( ) itu harus qath’i. Untuk menemukan dasar yang qath’i tersebut ditempuh jalan istiqra’ terhadap dalil-dalil naqli baik al-Quran maupun al-Sunnah. Lebih lanjut al-Syatibi menegaskan, penggunaan dalil aqli dalam menemukan dasar ilmu usul al-fiqh tersebut tidak bisa terlepas dari dalil naqli. Dalil aqli, jika digunakan, tidak lebih dari hanya sekedar penguat terhadap dalil syar’i , atau menentukan metode, atau menentukan tujuan dalil syar’i itu sendiri. Dalil aqli tidak dapat berdiri sendiri, sebab kajian dalam ilmu usul itu adalah kajian syar’i sedangkan akal bukanlah pencipta syara’.
Selanjutnya, dalil-dalil qath’i itu sendiri, demikian al-Syatibi, masih harus dipertanyakan, apakah setiap dalil syar’i itu qath’i ? Ternyata tidak, ada yang qath’i dan ada yang zhanni. Lebih lanjut al-Syatibi menegaskan bahwa yang menyebabkan suatu dalil itu menjadi qath’i bisa berdasarkan pendekatan bahasa, berdasar ijma’, khabar ahad, atau berdasar qiyas.
Dengan demikian, al Syatibi juga ingin menyatakan bahwa dalil syara’ itu terbagi dua : qath’i dan Zhanni. Dalil syara’ yang lebih qath’i tidak menjadi masalah dan tidak ada kesulitan untuk mengakuinya sebagai argumen. Seperti dalil-dalil tetang kewajiban bersuci, salat, zakat, haji, puasa dan amar ma’ruf nahy munkar.
Adapun dalil syara’ yang zhanni, oleh al-Syatibi, dibedakan kepada dua macam, yaitui dalil zhanni yang memiliki dasar yang qath’i. Jenis dalil yang zhanni yang pertama jelas dapat diterima, sedangkan dalil zhanni jenis kedua, yaitu yang tidak mempunyai dasar yang qath’i , tidaklah mudah untuk menerimanya begituu saja. Dalil zhanni jenis kedua ini kemudian dibedakan menjadi dua macam pula, yaitu yang bertentangan dengan dasar atau dalil yang qath’i dan yang tidak bertentangan tapi juga tidak bersesuaian dengan dasar yang qath’i tersebut.
Akhirnya, al-Syatibi menyimpulkan bahwa dalil syasr’i itu ada empat maca; Pertama adalah dalil qath’i yang sudah pasti dilalahnya dan tidak perlu lagi diperdebatkan. Kedua, dalail zhanni yang mempunyai dasar qath’i dan juga dapat diamalkan. Ketiga, dalil zhanni yang bertentangan dengan dasar yang qath’i. Dalil semacam ini tidak boleh diamalkan. Keempat, dalil zhanni yang tidak bertentangan dan tidak pula sesuai dengan dasar yang qath’i. Tipe dalil semacam ini hrus dianalisis, dan al- Syatibi mengelompokkannya dalam masalah al-munasib al- gharib.
Dari uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan al- dalil al- syar’iyyah, ditinjau dari aspek subut dan dilalahnya, terbagi dua : qath’i dan zhanni. Al-Quran dan al-Sunnah al-Mutawatirah adalah qath’iy al-subut. Sedangkan dilalahnya ada yang qath’i dan ada pula yang zhanni. Sedangkan sunnah masyhurah dan sunnah ahad adalah zhanniy al-subut, sementara dilalahnya ada yang qath’i dan zhanni sekaligus. Dalil hdits yang zhanni, demikian al-Syatibi, dapat diamalkan bila sejalan dengan dasar yang qath’i.
Demikian makalah yang sederhana ini disusun dan disajikan, semoga bermanfaat adanya.
0 Komentar untuk "QATH’I DAN ZHANNI DALAM AL QURAN"