(Tanggapan Terhadap Wacana Penghapusan Pelajaran Agama)
Oleh: Nabil Abdurahman
Beberapa hari ini, jagat media diramaikan lagi oleh beredarnya pernyataan Setyono Djuandi Darmono yang dimuat oleh situs www. jpnn.com dengan judul: "Pendidikan Agama Tidak Perlu Diajarkan Di Sekolah". Lalu situs fajar.co.id mengutipnya dengan memberikan judul: "Sarankan Jokowi Hapus Pendidikan Agama, Darmono: Identitas Agama Picu Radikalisme". Pernyataanya ini disampaikan pada hari Kamis, 04 Juli 2019 di Jakarta sesaat setelah dia menggelar acara bedah bukunya berjudul " Bringing Civilization Together".
Setyono Djuandi Darmono mengatakan bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah. “Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda. Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman. Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa ini, bukan agama". Lebih lanjut dia memandang bahwa jikalau agama yang dijadikan identitas, justru akan memicu radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.
Munculnya wacana seputar penghapusan mapel agama ini bukanlah pertama kali ini saja, tetapi sudah berulang, walaupun setelah dikonfirmasi kepada beberapa tokoh yang disinyalir pernah mengeluarkan pernyataan seputar wacana itu mereka membantahnya dan mengklaimnya bahwa itu berita hoax. Diantara tokoh tersebut misalnya Musdah Mulia, seorang tokoh perempuan dari Eksekutif Megawati Intitute sebagaimana yang di muat di situs www.sinarpagiindonesia.com, Menteri Pendidikan Muhajir Effendi sebagaimana dimuat di www.tribunnews.com dll.
Berulangnya kemunculan wacana penghapusan pendidikan agama ini, walaupun sebagiannya dinyatakan hoax, secara umum dikarenakan adanya pihak-pihak di republik ini yang terindikasi memiliki pola pikir dan pandangan sekuler yang ekstrim, yang menganggap bahwa agama itu sebagai faktor pemicu radikalisme dan disintegrasi serta penyebab keterbelakangan suatu bangsa.
Pemikiran, pandangan dan anggapan seperti itu tentu mengundang reaksi dari berbagai pihak, karena hal itu tidaklah sesuai dengan realita dan fakta. Diantara tokoh yang bereaksi tersebut misalnya Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Ustadz Abdul Muti, Wakil Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Anton Tabah Digdoyo, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, dll.
Dalam hal ini, saya sebagai bagian dari warga negara yang beragama dan mencintai tanah air dan bangsa, dan sebagai seorang pengajar yang memiliki tanggung jawab terhadap anak didik, juga selaku orang tua yang memiliki kewajiban untuk mendidik anak, merasa terusik juga dengan kemunculan wacana penghapusan pendidikan agama yang terus berulang ini.
Untuk itu, saya akan memfokuskan tanggapan saya terhadap wacana ini dengan mengalihkan perhatian pada sisi arti penting penguatan pelajaran agama di sekolah ditinjau dari aspek hasil penelitian ilmiah, historis, konstitusi dan ajaran agama-agama yang diakui di negara Indonesia, yang sekaligus membantah dengan fakta-fakta bahwa ajaran agama itu sumber konflik. Sehingga semua aspek tersebut merupakan pemaparan data faktual yang berkaitan dengan wacana ini yang sesuai dengan realita dan tidak terbantahkan.
Silahlan diklik linknya... Terima kasih.
https://curatcoretnabil.blogspot.com/2019/07/pentingnya-penguatan-pelajaran-agama-di.html?m=1
0 Komentar untuk "Pentingnya Penguatan Pelajaran Agama di Sekolah"