ads
ads

SUNDA DAN LELUCON POLITIK

SUNDA DAN LELUCON POLITIK
Asep Salahudin

“Pada akhirnya semua hanyalah  lelucon.” Ini adalah perkataan Charlie Chaplin. Akhirnya terpaksa kita, minimal saya, harus menyetujui pernyataan itu. Salahnya kita seringkali terlampau  serius dalam melihat dan membaca peristiwa yang terjadi  di sekeliling. Dan jangan-jangan sikap yang  (sok) serius ini sesungguhnya yang menjadi asal usul  terciptanya kehidupan yang penuh ketegangan. Baik dalam sektor politik, sosial atau bahkan keagamaan.

Boleh jadi radikalisme juga  berawal dari situ. Yang akhirnya menimbulkan cara pandang serba hitam putih. Politik menjadi bipolar kawan dan lawan; kehidupan sosial terbentuk  dalam sebuah relasi jejaring dikotomik antara “aku” dan “kamu”.  Radikalisme yang membuat mata  tertutup dari sebuah kenyataan hidup yang sesungguhnya warna warni, pelangi dan penuh nuansa. 

Akhirnya semua hanyalah lelucon. Antara tragedi dan komedi seringkali bertukar tempat dan atau berjalan beriringan. Ustadz dan  penyebar hoax kadangkala bergandengan tangan. Malah seorang  pelawak dan mantan anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang kebetulan bernama Nurul Qomar serius memalsukan ijazah S2 dan S3 hanya karena ingin menjajal jabatan Rektor di sebuah perguruan tinggi swasta atau jangan-jangan rektor itu  dianggapnya singkatan “kerek di kantor” (tidur di kantor).

Dalam politik bahkan termaktub tesis purba bahwa tak ada kawan abadi, kecuali kepentingan. Ternyata oposisi dan koalisi bukan persoalan ideologi apalagi kebenaran yang datang dari Tuhan tapi sepenuhnya soal kursi, ihwal dengan siapa  berkongsi dan apa yang didapatkan dari persekutuan itu. 

Dahulu kala ketika almukarrom KH Ulil Abshar Abdalla melontarkan gagasan keagamaan liberal, kelompok “kanan puritan” bukan hanya tak setuju bahkan memuntahkan cacian dengan kata-kata tak beradab bahkan sebuah ormas di Bandung mengeluarkan fatwa bodoh dan serampangan, namun manakala seorang Rocky Gerung menyampaikan hal yang sama bahkan mungkin lebih liberal terpaksa mereka harus mengunyahnya mentah-mentah bahkan Gerung diberi  panggung.

Itu juga mungkin yang menjadi  alasan pokok seorang Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid selalu menyampaikan dan menyelesaikan berbagai hal dengan lelucon, lewat kekuatan humor. Padahal kalau menyimak senarai tulisannya yang tersebar di jurnal kebudayaan Prisma dan media cetak bukan hanya mengandung bobot ilmiah yang kuat namun juga sangat kuat refleksinya. Ketika didesak siapa jenderal K yang menjadi dalang kerusuhan itu, dengan enteng Gus Dur menjawab, “Jenderal Kunyuk”. Tatkala ditanya apa modal politik yang mengantarkannya menjadi presiden, spontan Beliau menjawab, “Modalnya dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais!”

Ternyata Gus Dur tidak hanya “mempermainkan” politik, namun juga di tangannya, ajaran keagamaan “dipermainkan” sehingga menjadi, rileks, cair dan nampak tidak kaku apalagi menakutkan.

Tatkala didatangi seorang kyai yang stres gara-gara anak satu-satunya masuk Kristen, dan telah berdoa di mana-ana bahkan di tempat mustajab, padahal dia dikader sebagai pelanjut pesantrennya tapi sang anak masih tetap dalam keyakinan pilihannya, Gus Dur menjawab, “Jangan berdoa pada Tuhan, Tuhan juga  sama stres karen anak satu-satunya Yesus masuk Kristen!”.

Ketika didesak untuk membuktikan bahwa jamaah NU itu populasinya terbanyak di dunia, Beliau tangkas menjawab, “Ya. Karena anggota  NU bukan hanya yang masih hidup, yang sudah mati juga masih dihitung!”

Rekonsiliasi

Tanggal 30 Juni-1 Juli  2019 saya dan pendiri Jakatarub Dr. Wawan Wg diminta Task Force Jawa Barat untuk berbicara pada acara, “Festival Rakyat Kebhinekaan, Halal Bihalal Kebangsaan dan Dialog Publik-Silaturahmi Naisonal: Merajut Indonesia dalam Perdamaian.” Tema yang diajukan, “Humor: Penawar Racun Radikalisme dan Ekstremisme.”  

Bagi saya sendiri hasil penelitian yang sering menyebut Jawa Barat sebagai propinsi dengan tingkat radikalisme yang cukup tinggi seperti banyak disampaikan lembaga survai, tak perlu disikapi berlebihan dan sangat serius walaupun harus tetap diwaspadai. Begitu juga  sikap dan pilihan politiknya musti dibaca dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. 

Di Jawa Barat itu tak ada orientasi keagamaan (keormasan) dan ideologi partai politik yang kuat dan menghunjam ke palung alam bawa sadar segenap warganya.Hidup dan kehidupannya selalu cair dan tidak mudah diterka ke mana arah yang akan dituju, dan di mana kelak akan berlabuh. Semua hanya medan persinggahan untuk kemudian mengelana ke jazirah yang tak pernah sudah. Seringkali berubah dalam sesaat. “Si Kibayan” mungkin bisa melambangkan konsep diri manusia Sunda, seperti Nasruddin Khaza di Timur Tengah. Seorang yang menyelesaikan masalah tidak lewat “rasio instrumental” tapi melalui canda. Di tangannya hidup yang pelik menjadi mudah dan menggembirakan, masalah yang besar menjadi nampak ringan dan riang. 

Di Jawa Barat tentu ada NU (Nahdatul Ulama) dan Muhamadiyah tapi fanatisme jamaah terhadap ormas itu tak sekuat di tempat kelahirannya. Bahkan dalam konteks NU, di Jawa Barat tak sedikit  yang “anomali”: jamaah (bahkan jam’iyyah/pengurus)  yang amaliahnya (ritus) NU, tapi fantasi politik (siyasah) dan pemikirannya (fikrah) bertolak belakang dengan garis perjuangan yang diguratkan secara resmi oleh NU. Muncul juga Persis (Persatuan Islam) yang lahir di Pasundan, tapi Persis juga berkembang tak sepesat yang dibayangkan kalau tidak bisa dikatakan stagnan.

Coba tengok saja, setiap pemilu partai pemenang selalu bergantian tak ubahnya sebuah arisan ibu-ibu yang diselenggarakan di balai RW. Partai Demokrat, PDI-P, dan sekarang pemenangnya giliran Gerindra seiring dengan elektabilitas dan popularitas Prabowo di Pasundan yang tak mudah juga dicarikan argumentasi rasionalnya kecuali sekedar menerka sebagai fenomena kebangkitan populisme kanan, menjamurnya kawanan konservatisme reaksioner. Zaman negara Orde Baru jangan direken karena dapat dipastikan Golkar (Golongan Karya) menjadi pemenang utamanya, di mana-mana. 

Itu juga yang menjadi alasan penting tempo hari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mempropagandakan islamisme DI (Darul Islam)-nya di Priangan Timur dan sensitivitas politiknya sebagai tangan kanan Haji Omar Said Tjokroaminoto benar-benar teruji: tidak sedikit masyarakat dan ajengan (kyai) yang tergoda tawaran  ideologisnya. Walau pun Kartosoewirjonya sendiri bukan orang Jawa Barat (beliau lahir di Cepu Jawa Tengah tahun 1905).   

Simak juga sekian acara yang diselenggarakan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan (berdiri 20 Juli 1913), sebagai serikat sosial  berbasis etnik yang berdiri jauh sebelum Indonesia diproklamasikan dan lembaga pendidikannya tersebar di berbagai kabupaten kota, Ketua Umumnya Prof. M. Didi Turmudzi, selalu menyampaikan peristiwa politik nasional dan lokal dengan humor.   Belum pernah saya mendengar sebuah orasi politik atau kebudayaan yang dikemas lewat paparan ketat dan argumentasi serius.

Ketika ada yang bertanya dalam sebuah obrolan ringan, kira-kira pilihan capres masyarakat Jawa Barat 2024 akan berlabuh kepada siapa? Ridwan Kamil? Ahok? Anies Baswedan? Ganjar Prabowo? Dedi Mulyadi? Risma Surabaya? Khafifah Indar Parawansa? Puan Maharani? Erlangga Hartarto?  Yenny Wahid? Tito Karnavian? Sungguh saya tak kuasa menjawab dan juga tak berminat menjadi konsultan dan dukun politik. 

Atau silakan saja Anda yang menjawab. Toh antara konsultan dan dukun politik itu tak jauh berbeda. 

(Dimuat di HU Media Indonesia. Sabtu, 06 Juli 2019)
0 Komentar untuk "SUNDA DAN LELUCON POLITIK"

Back To Top