Kerajaan Islam di Sumatera, Malaka dan Aceh
Dalam catatan sejarah, ada kerajaan Islam di Sumatera, Malaka dan Aceh, antara lain:
a. Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir timur Laut Aceh. Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini merupakan keraaan Islam pertama di Indonesia. Penguasa kerajaan Samudera Pasai terdiri atas dua dinasti, yaitu Dinasti Meurah Khair dan Meurah Silu sebagaimana dalam penjelasan berikut.
1. Dinasti Meurah Khair
Pendiri dan raja pertama kerajaan Samudera Pasai adalah Murah Khair yang bergelar Maharaja Mahmud Syah. Pengganti beliau adalah Maharaja Mansyur Syah. Kemudian dilanjutkan oleh Maharaja Giyasuddin Syah. Raja kerajaan Samudera Pasai berikutnya adalah Meurah Noe yang bergelar Maharaja Nuruddin, beliau juga dikenal dengan Tengku Samudera atau Sultan Nazimuddin al Kamil, beliau tidak dikaruniai keturunan sehingga ketika ia wafat, kerajaan samudra pasai mengalami kekacauan karena perebutan kekuasaan.
2. Dinasti Meurah Silu
Dinasti ini didirikan oleh Meurah Silu yang bergelar Malik al-Saleh. Ia merupakan keturunan Raja Perlak yang mendirikan kedua dinasti di Kerajaan Samudera Pasai.
a. Nama-nama raja yang memerintah pada Kerajaan Samudera Pasai, antara lain:
1. Malik as Saleh (1285-1297 M)
Pada masa Malik as Saleh sistem pemerintahan kerajaan dan angkatan perang laut telah terstruktur rapi, serta mengalami kemakmuran terutama setelah pelabuhan Pasai dibuka. Menjadikan hubungan kerajaan Samudera Pasai dan Perlak berjalan harmonis. Terbukti Meurah Silu menikah dengan puteri raja Perlak yang bernama Ganggang Sari. Kondisi demikian semakin memperkuat pengaruh kerajaan Samudera Pasai di Pantai Timur Aceh dan berkembang menjadi kerajaan perdagangan yang kuat di Selat Malaka.
2. Muhammad Malik Zahir (1297-1326M)
3. Mahmud Zahir (1326-1345M)
4. Mansur Malik Zahir (1345-1346M)
5. Achmad Malik Zahir (1346-1383M)
6. Zainal Abidin (1383-1403M)
Masa pemerintahannya meliputi daerah Kedah di Semenanjung Malaya, beliau juga aktif dalam menyebarkan Islam ke pulau Jawa dan Sulawesi dengan mengrim ahli dakwah seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak.
Samudera Pasai merupakan kota dagang yang mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya dan pada umumnya masyarakat Pasai telah menanam padi di ladang yang dipanen dua kali dalam setahun bahkan memiliki sapi perah yang mengasilkan keju. Selain itu letak Pasai sangat strategis di selat Malaka yang menyebabkan pelabuhan Samudera Pasai dikunjungi banyak pedagang.
Perkembangan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam yang besar ditunjang dengan diberlakukannya hukum atau syariƔt Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
b. Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad ke-17)
Kesultanan Malaka (1402-1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang melarikan diri dari perebutan Palembang oleh Majapahit.
Pada 1402, dia mendirikan sebuah ibu kota baru, Melaka yang terletak pada penyempitan Selat Malaka. Pada 1414, dia berganti menjadi seorang Muslim dan menjadi Sultan Malaka.
Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15 dan awal 16. Kegemilangan yang dicapai oleh Kerajaan Melaka adalah daripada beberapa faktor yang penting. Antaranya, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka pada tahun 1402. Malah, salah seorang daripada sultan Melaka telah menikahi seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Melaka. Melaka mendapat perlindungan dari negara Tiongkok yang merupakan sebuah kuasa besar di dunia untuk mengelakkan serangan Siam.
Malaka diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak, sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor. Berikut nama-nama raja-raja Malaka, antara lain:
1. Parameswara (1402-1424)
2. Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
3. Sultan Muzaffar Syah (1444-1459)
4. Sultan Mansur Syah (1459-1477)
5. Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488)
6. Sultan Mahmud Syah (1488-1528)
c. Kesultanan Aceh (abad ke-16 - 1903)
Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamnya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
1. Sejarah Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Diawal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Deli, Pedir, Pasai, dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.
2. Masa kejayaan
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Borneo) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniry dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
3. Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.
Traktat London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir Nopember 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke pangkuan kolonial Hindia-Belanda. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu.
4. Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
- Teungku
- Teuku
- Cut
- Tuanku
- Laksamana
- Panglima Sagoe
- Pocut
- Uleebalang
- Meurah
0 Komentar untuk "SKI Kelas 9 Tentang Kerajaan Islam di Sumatera, Malaka dan Aceh"