ads
ads

Sejarah Abah Anom yang ditulis oleh Dr. Juhaya S. Praja

Sejarah Abah Anom yang ditulis oleh Dr. Juhaya S. Praja Abah Anom yang berarti "Kiyai Muda" adalah Kiyai Haji Ahmad Sohi¬bul Wafa Tajul Arifin. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1915 di Surya¬laya, desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasik¬malaya, Jawa Barat, Indonesia. Ia putra kelima Syekh Abdullah Muba¬rok bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya. Ibunya bernama Hajjah Juhriyah. Saudara-saudaranya ialah Ny. H. Sofiyah (se¬ayah lain ibu), Ny. H. Sukanah, H. Dahlan, Ny. H. Saadah, Ny. Uwas, Ny. Didah, Ny. H. Y. Juhriyah, dan K.H. Noor Anom Mubarok, B.A. (saudara seayah lain ibu). Putra-putri Abah Anom ada empat belas orang dan seorang anak tiri dari istrinya yang pertama Ibu Euis Siti Ru'yanah (Ibu Euis Siti Ru'yanah menderita sakit sepulangnya dari Mekah hingga wafat, 1974-1978). Mereka adalah H. Tutu Ruhiat Mintapradja, B.A . (lh. 1940, anak tiri), H. Dudun Nur Saidudin (lh. 1942), Aos Husnifalah (1h. 1943), N. Nonong (lh. 1945), Didin Hidir Arifin dan Ny. Oneng Hes¬yati (kembar lahir 1947), Endang Ja'far Sidik (lh. 1949), Ny. Otin Kho¬dijah (1h. 1951), H. Kankan Zulkarnaen (lh. 1952), Memet Ruhimat (1954-1979), Ny. H. Ati Unsuryati (1h. 1956), Ny. Ane Utia Rohayane (lh. 1958), Baban Ahmad Jihad (lh. 1960), dan Ny. H. Nia Iryanti (lh. 1962). Selain ketiga belas putra-putri tersebut, Abah Anom dikaruniai lagi seorang putra dari istrinya yang kedua Ny. H. Yoyoh Sofiah dan diberi nama Ujang Muhammad Mubarok Qadiri (1h. 1986). Pada usia delapan tahun, "Kiyai Muda" telah masuk sekolah dasar (Vervolegh School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Selepas sekolah da¬sar, ia masuk sekolah menengah, semacam Madrasah Tsanawiyah, di Ci¬awi Tasikmalaya. Pada tahun 1930-1931 ia memulai perjalanan menun-tut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Ia mulai belajar Fiqh (Hukum Islam) dari seorang Kiyai terkenal Pesantren Cicariang Cianjur, Jawa Ba-rat. Di Pesantren ini Pula Abah Anom secara khusus memperoleh ijazah tulis menulis huruf Arab, al-Quran maupun hadits. Ketika itu, tulis me-nulis huruf Arab dikenal dengan istilah harupat tujuh. Tidak puas mengeruk ilmu dari Pesantren Cicariang, Abah Anom pun mengaji Fiqh, Nahu, Saraf, dan Balagah kepada Kiyai ternama Pesantren Jambudwipa, Cianjur, Jawa Barat. Di Pesantren ini, dikaji Fiqh mad¬hab Syafi'i, seperti umumnya pesantren lain. Setelah mengaji sekitar dua tahun di Jambudwipa, ia melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur. Ke¬tika itu, Pesantren tersebut diasuh oleh Ajengan Syatibi. Ia dikenal se-bagai seorang Ulama serba bisa, baik ilmu Figh, Kalam, Tafsir, Hadits, maupun "alat" (Nahu, Saraf, dan Balagah). Di Pesantren ini Abah Anom giat belajar siang dan malam. Ia amat dekat dengan Ajengan se¬hingga ia mondok di dapur rumah Ajengan tersebut. Siang hari ia ber¬guru kepada Kiyai Muda, putra Ajengan Syatibi; malam hari ia berguru langsung kepada Ajengan Syatibi. Dua tahun kemudian, 1935-1937, Abah Anom melanjutkan kegiatan belajarnya di Pesantren Cireungas, Cimelati, Sukabumi, Jawa Barat. Pe¬santren ini terkenal sekali, terutama kepemimpinan Ajengan Atjeng Mumu yang ahli hikmat dan silat. Selain memperoleh ilmu agama, di Pesantren ini Abah Anom mem¬peroleh banyak pengalaman dalam banyak hal ia memperoleh peng¬alaman berburu ke hutan hingga pengalaman bagaimana mengelola dan memimpin sebuah Pesantren. Ia ikut serta membangun pisik Pesantren tersebut. Sejak pemugaran tanahnya hingga berdirinya Pondok Pesan¬tren dengan Masjidnya. Ia pun belajar silat, di samping kesukaannya ber¬buru bersama Aki Danu dari Ciawul, Cikawung, dan beberapa orang lain¬nya. Di Pesantren ini "Kiyai Muda" banyak diketahui oleh orang se-kitarnya sebagai seorang putra pimpinan Pesantren Suryalaya, Mursyid TQN. Mereka yang telah mengenal kemasyhuran Abah Sepuh pun meminta Ahmad Muda (Abah Anom) untuk mengantarnya ke Suryalaya guna ber¬talqin TQN. Mereka inilah yang dikemudian hari menjadi cikal bakal ikh¬wan TQN di Sukabumi. Ajengan Atjeng Mumu yang memimpin Pesantren Cireungas seba-gaimana disebut di atas adalah putra Ajengan Sindang Hayu, Nyalindung, Sukabumi, yakni Ajengan Cikaret yang terkenal sebagai ahli tarekat yang mengaplikasikan ajaran tarekat itu dalam dunia persilatan. Biografi Abah Anom di atas menunjukan bahwa dalam usia relatif muda, delapan belas tahun, ia telah menguasai banyak ilmu-ilmu agama Islam. Di samping itu, kiranya ia pun tertarik sekali oleh dunia Pesan¬tren dengan seluk-beluknya pada saat itu. Oleh karena itu, pantas jika ia telah dicoba dalam usia muda itu untuk menjadi wakil talqin Abah Se¬puh. Percobaan ini nampaknya juga memberi ancangan bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagamaannya. Kegemaran¬nya bermain silat dan kedalaman rasa bahasanya dipertajam lagi di Pe¬santren Citengah yang dipimpin oleh Haji Djunaedi di Panjalu yang ter¬kenal sebagai ahli "alat", jago silat, dan ahli hikmat. Salah seorang mu¬ridnya adalah Haji Juber yang tinggal di jalan Cikijing, Ciamis. Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Ahmad Muda ini me¬nikah dengan Euis Siti Ru'yanah. Setelah menikah, ia kemudian berziarah ke Tanah Suci. "Semprong Bulao" adalah kapal laut milik perusahaan Belanda. Kapal inilah yang membawa Ahmad Muda berlayar ke Mekah pada tahun 1938 bersama Simri Hasanudin (keponakan Abah Anom, mantan kepala desa Tanjungkerta). Nampaknya kapal ini berkesan sekali di hati Abah Anom karena naik kapal bagi pemuda sebayanya merupakan suatu hal yang luar biasa. Apalagi perjalanan pelayarannya memakan waktu lima belas hari. Selain itu, perjalanan Jeddah - Mekah memakan waktu dua hari dua malam di atas punggung unta. Ketika itu Ahmad Muda meng-gunakan jasa Syekh Abbas Abdul Jabbar. Beliau berfungsi semacam tra-vel biro. Perjalanan Mekah-Madinah memakan waktu sebelas hari se¬belas malam, yang berarti dua puluh dua malam pula pergi di atas unta. Perjalanan ibadah hajinya memakan waktu sekitar tujuh bulan. Selama bulan Ramadlan Ahmad Muda rajin mengikuti pengajian ban¬dungan di Masjidil Haram yang disampaikan oleh guru-guru yang ber¬asal dari Mekah ataupun dari Mesir. Sayang sekali Abah Anom sudah lupa menyebutkan nama para gurunya itu. Keikutsertaannya dimungkinkan sekali karena ia telah menguasai bahasa Arab dengan baik. Siang malam ia tekun mengikuti bandungan Tafsir dan Hadits di Masjidil Haram tersebut. Sementara itu di Mekah, tepatnya di Jabal Gubaisy, ada seorang ula¬ma yang berasal dari Garut Jawa Barat, bernama Syekh Romli. Ia ada-lah wakil talqin yang diangkat oleh Abah Sepuh. Di Jabal Gubaisy ini Syekh Romli mempunyai ribat naqsabandi, sebuah madrasah yang me-rupakan balai pertemuan untuk melakukan muzakarah ilmu tasawuf. Ke-tika di Mekah Abah Anom terbiasa tidur di atas pasir di Masjidil Haram dan setiap pagi ia pun terbangun. Ia pun rajin mengunjungi ribat naqsa-bandi di Jabal Gubaisy untuk muzakarah kitab Sirr al Asrar dan Ganiyyat Al-Talibin karya Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani. Sepulangnya dari Mekah setelah bermukim ± tujuh bulan (1939) da¬pat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuannya meliputi ilmu Tafsir, Hadits, Fiqh, Kalam, dan Tasawuf yang merupakan inti pokok ilmu agama. Oleh karena itu, tidak heran jika ia fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda dengan retorika yang hebat sehingga pendengar serta hadirin mampu menerima¬nya pada lubuk hatinya yang paling dalam. Ia amat cendekia dalam bu¬daya dan sastra Sunda sehingga melebihi kepandaian Sarjana ahli bahasa Sunda yang ternama, dalam penerapan filsafat etnik kesundaan, un¬tuk memperkokoh Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah. Bahkan ia pun terkadang berbicara dengan bahasa Jawa dengan baik.   Sepulang dari Mekah, Abah Anom ikut serta memimpin Pondok Pe¬santren Suryalaya mendampingi ayahanda. Situasi pada tahun 1939-1945 merupakan situasi kolonialisme. Keadaan saat itu kurang menguntung¬kan bagi pengembangan TQN.Demikian pula, setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945.   Situasi saat itu mengharuskan Ahmad Muda ikut serta mempertahankan kemerdekaan di samping tetap membina umat. Ia ikut serta secara aktif bersama sama Brig. Jend. Akil untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Setelah negara terlepas dari ancaman asing, gangguan muncul dari DI/TII. Pondok Pesantren Suryalaya menghadapi tantangan berat. Pihak DI/TII menganggap Pesantren Suryalaya sebagai musuh karena berpihak kepada TNI. Apalagi Pesantren ini dijadikan basis oleh TNI. Menghadapi masalah tersebut, Abah Anom ikut serta mengadakan perlawanan terhadap DI/TII serta mengaktifkan santri-santrinya untuk mengangkat senjata dan berpagar betis mengepung DI/TII. Para santri/pemuda yang dipersenjatai oleh TNI ketika itu, yang kini masih hidup dan masih terus membantu Abah Anom, antara lain: Anta, Wiranta, Soleh dan pu¬tra Abah Anom tertua yang bernama Didin Nursaidudin. Di antara san¬tri pun ada yang gugur, yakni Muhtar dan kawan-kawannya sebanyak lima orang. Di samping itu, masih ada pula fitnah yang mengatakan bahwa ajaran Islam yang diajarkan di Suryalaya menyeleweng dari ajaran Islam yang benar. Ketika Abah Sepuh wafat pada tahun 1956, Abah Anom harus man¬diri dalam memimpin Pesantren. Ketika itu, DI/TII masih terus merajalela. Tidak kurang dari tiga puluh delapan kali Pondok Pe¬santren mendapat serangan DI/TII antara tahun 1950/1960. Pondok Pe¬santren Suryalaya dengan gigih membela warga dan masyarakat dari gang¬guan kekacauan DI/TII, yang dikenal masyarakat dengan sebutan gorombolan. Upaya Pondok Pesantren dihargai benar oleh Pemerintah sebagaimana tertuang dalam Tanda Penghargaan T & T III SILIWANGI Resi¬men Infantri 11 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Agustus 1956. Bahwa penghargaan diberikan kepada Adjengan Haji Shohibulwafa (Abah Anom) sebagai penghargaan atas sikap keistimewaan yang telah diper-lihatkan dalam menjalankan kewajibannya membantu penyelesaian ke-amanan/pembangunan di kampung. Abah Anom dinilai "aktif dalam memimpin serta memupuk Rakyat dan menyelamatkan dari ancaman-ancaman pihak gerombolan". Surat Penghargaan Siliwangi di atas jelas menunjukan kedudukan Abah Anom sebagai Pembina umat/rakyat dan pembela negara. Keadaan perekonomian rakyat pada tahun-tahun lima dan enam pu¬luhan sangat menghawatirkan. Oleh karena itu, Pesantren Suryalaya de¬ngan pimpinan Abah Anom tampil sebagai pelopor pembangunan per¬ekonomian rakyat. Ia aktif membangun irigasi untuk mengatur pertanian. Membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik. Kegiatan ini meng¬undang perhatian Menteri Kesejahteraan Rakyat Suparyogi beserta Jend. H.A. Nasution berkunjung ke Suryalaya untuk meninjau kegiatan Pe¬santren (1958). Pada saat itu sedang digalakkan SSB (Self Supporting Beras) semacam program swasembada beras. Dalam hal ini Abah Anom giat memasyarakatkan program tersebut dengan menulis semacam makalah dalam bahasa Sunda dan disebarluaskan di kalangan masyarakat Jawa Barat. Makalah dalam bentuk lagu Kinanti. Apa yang dilakukan Abah Anom dengan mengajukan konsep dan contoh dalam bidang pertanian dan kesejahteraan rakyat serta membantu TNI bersama rakyat dalam menanggulangi dan mengadakan pertolongan setiap kali ada perusakan oleh DI/TII dihargai betul oleh Kodam Siliwangi. Bahkan, apa yang dilakukan Abah Anom dalam beberapa su¬rat Penghargaan dari Pemerintah dianggap sebagai perbuatan yang di¬landasi oleh ajaran TQN. Salah satu teks penghargaan itu, antara lain berbunyi:“Memberikan penghargaan kepada Adjengan H. Sohibul Wafa selaku Adjengan Tharekat Qodiriah Naqsabandiah dalam menunaikan tugas di bidang penyelesaian keamanan daerah/vak Jon 309 Rem Tjirebon/SGD, sehingga keamanan daerah tersebut dapat di¬selesaikan dalam jangka waktu yang sangat singkat."Kegiatan Abah Anom dan Pesantrennya di bidang pertanian, selain mem¬berikan contoh pengairan dan irigasi, juga membantu pemerintah dalam penyebaran dan penggunaan rabuk dalam rangka usaha peningkatan ba¬sil produksi penunjang program SSB. Atas dasar itulah, P.N. PERTANI Cabang Jawa Barat memberikan Penghargaan Pertanian tahun 1958 dan tahun 1963. Selanjutnya pada tahun 1963 Gubernur Jawa Barat pun mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan penghargaan kepada Abah Anom sebagai orang yang giat dalam membina pembangunan character building sebagaimana dijelaskan secara singkat di atas. Di sam¬ping mengajarkan agama, khususnya TQN kepada masyarakat, ia pun aktif dalam pembinaan kesejahteraan sosial, baik di bidang pemeliharaan lingkungan dengan penanaman dan reboisasi bersama santri dan masya¬rakat sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, membuat irigasi, dan intensifikasi ,tanaman melalui pemupukan dan lain sebagainya. Ketika G.30 S./PKI meletus tahun 1965, Pondok Pesantren Surya¬laya tidak tinggal diam. Sebagai penyebar ajaran Islam yang menghem¬buskan kedamaian bagi setiap insan, maka setiap eks PKI yang ingin in¬syaf diterima dibina di Pondok Pesantren, baik sikap dan perilakunya agar sesuai dengan perintah agama dan negara. Apa yang dilakukan Pe¬santren kiranya sesuai dengan apa yang diinginkan pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena itu, apa yang telah dilakukan Pesantren dengan Abah Anom sebagai Guru TQN dalam membina anggota PKI untuk kern¬bali ke jalan yang benar menurut agama dan negara dikukuhkan oleh ja¬watan Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, serta dihargai oleh Guber¬nur Jawa Barat, dan instansi lainnya. Pada saat sejarah bangsa Indonesia memasuki babak baru dengan lahirnya Orde Baru, Abah Anom dan Pesantrennya terus berada di belakang Pemerintah dengan mendukungnya secara penuh. Dalam rangka me¬masyarakatkan TAP.MPR No. 11/1979, umumnya, yakni tentang Pedo¬man Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4, Pesantren telah mena¬tar mubalignya sebanyak 600 orang. Penataran yang dilakukan berupa penataran pola pendukung 45 jam. Mubalig ini kemudian menyebar ke seluruh pelosok untuk memasyarakatkan P4 bersamaan dengan da'wah Islam, terutama di daerah-daerah pembinaan ikhwan TQN. Kegiatan mu¬balig ini pun didukung oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Penyebaran P4 secara intensif ditopang pula dengan lulusnya 14 orang mubalig Pe¬santren dalam penataran P4 untuk Calon Penatar bagi Organisasi Ma¬syarakat setingkat Provinsi Jawa Barat. Di samping itu, Abah Anom aktif pula dalam pembinaan dan pendidikan politik masyarakat. Ia ikut serta dalam menyukseskan Golongan Karya sejak Pemilu 1972 hingga yang terakhir 1987. Bahkan para ikh¬wan TQN dianjurkan untuk menyalurkan aspirasi politiknya melalui Golongan Karya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti ia melarang atau meng¬haramkan para ikhwan untuk memasuki organisasi politik lain sepanjang organisasi tersebut tidak dilarang oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia atau tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara ini. Selain itu, ia pun tidak ketinggalan mengikuti de¬ngan cermat setiap hasil sidang umum MPR Republik Indonesia. Atas kegiatannya yang istimewa dalam pemilu, pada tahun 1982, bulan Mei tanggal 4 ia menerima piagam penghargaan atas kegiatannya memenang¬kan Pemilu Golkar 1982. Dua tahun kemudian beliau diangkat men¬jadi Pinisepuh Golkar. Abah Anom memimpin Pesantren Suryalaya sejak tahun 1950. Pada tahun tersebut Abah Sepuh mengungsi ke Tasikmalaya. Ia tinggal di ja¬lan Cihideung, rumah Haji Sobari. Dengan demikian, kepemimpinan Pe¬santren diserahkan kepada Abah Anom secara resmi dan sekaligus sebagai mursyid TQN dengan mendapat bimbingan dari Abah Sepuh. Selama masa sepuluh tahun pertama kepemimpinan Abah Anom (1950-1960) ba¬nyak terganggu oleh situasi keamanan sebagaimana dijelaskan di atas. Salah satu akibat gangguan tersebut mengungsinya penduduk ke kota. Kegiatan dan perkembangan Pesantren dan TQN pun hampir lumpuh. Bagi mereka yang'ingin datang ke pesantren waktunya amat terbatas. Di samping itu, sarana transportasi belum menggembirakan.Waktu berkunjung bagi para tamu hanya sekitar enam jam setiap ha¬rinya, antara jam enam pagi hingga jam dua belas siang. Di luar jam ter¬sebut tidak dianggap aman lagi, mengingat gangguan tersebut. Kalaupun ada yang datang ke Suryalaya untuk belajar agama, hanyalah mereka yang tinggal berdekatan dengan Suryalaya, seperti: petani kecil, pedagang ece¬ran, buruh, serta mereka yang setara stratifikasi sosialnya dengan yang disebut terdahulu. Dalam keadaan demikian, upaya pengembangan TQN dilakukan di luar Pesantren Suryalaya, khususnya dilakukan oleh Wakil Talqin, yaitu mereka yang mendapat ijazah dari Abah Anom sebagai mur¬syid (pembimbing). Mereka bertugas membimbing dan mentalqin siapa yang ingin belajar dan mempraktekan TQN.Sebagai salah satu upaya memodernisasi pesantren Suryalaya didiri¬kanlah Yayasan Serba Bhakti Pondok Pesantren Suryalaya pada tahun 1961. Pendirian Yayasan ini bertujuan untuk menunjang kegiatan Pon¬dok Pesantren Suryalaya agar dapat berkembang dengan cepat dan mantap. Pendirian Yayasan ini atas prakarsa seorang murid Abah Anom, yak¬ni Haji Sewaka (alm.) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1952) dan mantan Menteri Pertahanan RI (1952-1953). Pada tahun-tahun pertama, Yayasan ini dipimpin oleh H. O. Sobari. Hingga kini, Yayasan telah mempunyai cabang hampir di seluruh kota kabupaten di Jawa Barat, Yogya¬karta, Surabaya, dan di luar Jawa. Yayasan Serba Bhakti yang merupakan wadah pembinaan ikhwan TQN, baik di pesantren maupun di daerah-daerah mempunyai tugas cu¬kup banyak. Keinginan ikhwan TQN untuk menyekolahkan putra ¬putrinya di Suryalaya sambil belajar TQN cukup besar. Oleh karena itu, pada tahun 1963 Pesantren Suryalaya bukan saja mengajarkan TQN ba¬gi orang dewasa, tetapi juga membuka pendidikan dengan sistem klasikal dan formal, yakni Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP). Setahun kemudian, 1964 didirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun yang kemudian dirubah menjadi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah 'Ali¬yah pada tahun 1977. Selanjutnya, Diniyah Awwaliyah (MDA) didirikan tahun 1968. Sementara Perguruan Tinggi Da'wah Islam (PTDI) dibuka tahun 1963 yang dibuka pertama kali oleh Jenderal Sudirman. Drs. Sho¬lahuddin Sanusi, mantan Rektor IAIN Sunan Gunung Djati (1973-1976), adalah salah seorang pendiri PTDI di Suryalaya. Dengan berdirinya PTDI tersebut, banyak para ulama dan cendekiawan yang memberikan kuliah. Melalui ulama dan cendekiawan itulah berbagai fitnah dan tuduhan yang negatif terhadap Suryalaya semakin berkurang. Mahasiswanya, cukup ba¬nyak. Mereka terdiri atas guru-guru sekolah dasar. Akan tetapi, bebe¬rapa tahun kemudian bubar. Perguruan tinggi di Pesantren Suryalaya baru muncul lagi pada ta-hun 1986. Perguruan Tinggi tersebut bernama Perguruan Tinggi Latifah Mubarokiyah. Dua tahun kemudian berubah menjadi Institut Agama Is¬lam Latifah Mubarokiyah (IAILM), dengan FakuItas Tarbiyah dan Sya¬ri'ah. Setahun kemudian (1988) didirikan pula Fakultas Ushuluddin. Per¬guruan Tinggi ini dipimpin pertama kalinya oleh May. Jend. Pol. Purn. Drs. Oepa Suparja Adimaja. Ketua Dewan Kuratornya Jend. Purn. Dr. Yoga Soegomo , kini mantan Kepala Badan Intelejen Nasional (BA¬KIN). Dari paparan di atas   menurut pemahaman penulis, belum sampai ke pembahasan tentang Hagiografi atau Manaqib Abah Anom.
0 Komentar untuk "Sejarah Abah Anom yang ditulis oleh Dr. Juhaya S. Praja "

Back To Top