ads
ads

POLA KEPEMIMPINAN KYAI DALAM PESANTREN

POLA KEPEMIMPINAN KYAI DALAM PESANTREN



    Kepemimpinan dalam pesantren yang berpusat pada diri kyai, merupakan permasalahan yang menarik. Pesantren, sebagai suatu lembaga pendidikan yang bercorak religius dan tradisional, (Dawam Rahardjo, perkembangan masyarakat dalam Prespektif Pesantren,P3M, Jakarta 1985). Mempunyai  corak kepemimmpinan yang khas dan unik, yaitu kepemimpinan yang berlandaskan pada kepribadian istimewa dari kyai.
    Menurut Dawam Rahardjo , “ Berbeda dengan sekolah, pesantren mempunyai kepemimpinan, cirri-ciri khusus dan semacam kepribadian yang diwarnai oleh karakteristik pribadi sang kyai, unsur-unsur pimpinan pesantren … “ (Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, LP3ES, Jakarta 1974).
    Adapun kepribadian kyai yang istimewa itu, umumnya dikaitkan dengan kecakapan-kecakapan kyai di bidang keagamaan maupun dengan kemampuan-kemampuannya yang bersifat luar biasa.
    Menurut Zamakhsyari Dhofier : Para kyai dengan kelebihan pengetahuan dalam Islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senanatiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau… (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta 1982).
    Begitupun Abduraahman Wahid : menyatakan bahwa seorang kyai senantiasa dianggap memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain di sekitarnya, dan atas dasar itu  hamper mengenai setiap kyai yang ternama beredar legenda tentang kemampuan-kemamapuannya. (Abdurahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta 1974).
    Lebih lanjut, beberapa ahli pesantren umumnya cenderung sepakat menanamkan pola kepemimpinan kyai dalam pesantren sebagai kepemimpinan  yang kharismatik.
Menurut Abdurahman Wahid : Salah satu prasyarat utama bagi terciptanya pola kehidupan pesantren adalah keharusan bagi pendiri atau pengasuh pesantren untuk memiliki kepribadian yang sangat kuat. Kelanjutan dari adanya kepribadian yang kuat dalam diri seseorng kyai pesantren adalah besarnya faktor kharisma dalam mmenentukan kepesatan kemajuan atau kemunduran pesantren ( Abdurahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur”’ dalam Rahardjo, Pesantren dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta 1974).
    Sedangkan Shobirin mengatakan bahwa berkat tempaan pengalamamnnya mendirikan pesantren sebagai kemandirian cita-cita  kyai, akhirnya timbul corak kepemimpinan yang sangat pribadi sifatnya, yang berlandaskan pada penerimaan masyarakat sekitar dan warga pesantrennya secara mutlak. Karena itu, ciri utama penampilan kepemimpinan kyai adalah watak kharismatik yang dimilikinya. (E. Shobirin Najd, “ Prespektip kepemimpinan dan manajmen Pesantren”, dalam dawam rahardjo, Pergulatan Duni Pesantren, Jakarta : mLP3M, 1985).
    Demikian pula dengan nada yang serupa Sujoko Prasodjo mengatakan bahwa kekuatan seorang kyai terletak pada kemantapannya terhadap diri sendiri yang melairkan suatu kepribadian yang penuh magnitisme, dan umumnya pola kepemimpinan yang dipunyainya adalah pola  kepemimpinan kharismatik. ( Sudjoko Prasodjo, Profil Pesantren : Laporan hasil penelitian pesantren Al-Falah dan delapan pesantren di Bogor, Jakarta : LP3ES, 1974).
    Hal lain yang menarik dari kepemimpinan dalam pesantren adalah pola hubungan kekuasaan yang terjalin antara kyai sebagai pemimpin pesantren denga santri sebagaiurid pesantren. Kekuasaan tersebut berlandaskan hubungan guru dan murid. Pola hubungan  guru dan murid antara kyai dan asntri, erat berkaitan pula dengan system pendidikan yang berlangsung dalam pesantren, yakni suatu metoda belajar mengajar dalam bentuk pengajian. Dalam hal ini dikenal 2 bentuk pengajian , yaitu ‘Sorogan’ dan ‘Bandongan”. ( Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan hidup kyai, Jakarta : LP3ES, 198).
    Sorogan merupakan system bimbingan individual dimana seorang santri menyodorkan kitab dihadapan di hadapan kyai, kemudian kyai memberikan tuntunan tentang bagaimana cara membacanya, menterjemahkannya dan menafsir artinya. Metoda ini diterapkan secara intensif seorang demi seorang, dan ada kesempatan untuk Tanya jawab secara langsung. Dalam sistem inilah berlangsung proses pelimpahan nilai-nilai dimana kyai secara langsung dapat mengawasi, menilai dan membimbing santrinya. Metoda pengajaran ini merupakan metoda elementer untuk menuntun santri pada tingkatan awal pendidikan pesantren.
    Bandongan adalah metoda lanjutan yang merupakan system belajar secara kelompok, di mana kelompok santri ( Berjumlah antara 5 sampai 500 orang ). Mendengarkan kyai membaca, menterjemahkan dan mengulas isi suati kitab. Para santri memperhatikan kitab yang dipegang masing-masing dan membuat catatan-catatan sendiri. Dalam sistem bandongan ini terdapat kelompok-kelompok yang disebut halaqoh.
Pengajian sorogan dan bandongan biasanya dilakukan di kediaman kyai, di langgar atau mesjid di lingkungan pesantren.
    Metode belajar mengajar dalam bentuk pengajian, merupakan system pendidikan yang telah berlangsung  turun temurun dalam lembaga pesantren di Indonesia. Dengan pendidkan seperti itu, hubungan antara guru ( kyai) dengan murid ( santri) cenderung bersifat formal dan informal. (E. Shobirin Nadj., “Prespektif Kepemimpinan dan manajmen pesantren : Jakarta, LP3ES, 1985).
    Lebih jauh lagi, di dalam suatu pesantren, hubungan guru dan murid yang terjalin antara kyai dengan asntri, tidak terbatas hanya dalam lingkup proses belajar mengajar secara pengajian. Seorang asantri akan berguru dan menaruh kesetiaan pada kyai hamper dalam semua aspek kehidupannya.


0 Komentar untuk "POLA KEPEMIMPINAN KYAI DALAM PESANTREN"

Back To Top