ads
ads

EPISTIMOLOGI TASAWUF sebagai bahan diskusi pembahasan ajaran Islam

EPISTIMOLOGI TASAWUF 

 Perbedaan Tafsir bi al-ma’sur, Tafsir bi ar-ra’yi dan tafsir bi al-Isyari :
  1. Tafsir al-Isyari adalah sebuah takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan apa yang tampak darinya sesuai dengan isyarat yang tersembunyi yang diketahui dalam tingkatan perjalanan tasawuf (suluk). Tafsir ini lebih banyak menafsirkan sebuah ayat dengan menggunakan metode ruhaniah yang berupa intuisi dan kontemplasi untuk menyingkap tabir ayat melalui dzikir dan wirid. Sebab dengan semakin dekat seorang hamba dengan Allah maka semakin benar sebuah penafsirannya. Terlepas dari itu semua ternyata hal ini juga sangat subyektif sebab kemampuan masing-masing individu tidak sama dalam tingkatan tasawuf maka juga tetap saja memunculkan ragam penafsiran terhadap ayat al-Qur’an.
  2. Tafsir bi al-Ma'tsur Penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur'an terhadap maksud ayat al-Qur'an yang lain. Termasuk dalam tafsir bi al-ma'tsur adalah penafsiran al-Qur'an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Penafsiran al-Qur'an dengan pendapat para sahabat berdasarkan ijtihad mereka dan penafsiran al-Qur'an dengan pendapat para tabi'in. diantara kitab tafsir bi al-ma'tsur adalah kitab: jami' al-Bayan fi tafsir al-Qur'an, karangan Imam Ibnu Jarir al- Thabari. c. Tafsir bi al-Ra'yi Penafsiran yang dilakukan mufassir dengan menjelaskan ayat al-Qur'an berdasarkan pendapat atau akal. Para ulama menegaskan bahwa tafsir bi al-ra'yi ada yang diterima dan ada yang ditolak. Suatu penafsiran bi al-ra'yi dapat dilihat dari kualitas penafsirnya. Apabila ia memenuhi sejumlah persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tafsir, maka diterimalah penafsirannya. Jika tidak, maka ditolak penafsirannya. Di antara kitab tafsir bi al-ra'yi adalah kitab: Madarik tanzil wa Haqaiq al-ta'wil, karangan al-ustadz Mahmud al-Nasafi. 2. Perbedaan Tafsir Isyari (sufi) dengan Tafsir Batini : a. Tafsir Isyari: Tafsir al-Isyari adalah sebuah takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan apa yang tampak darinya sesuai dengan isyarat yang tersembunyi yang diketahui dalam tingkatan perjalanan tasawuf (suluk). Tafsir ini lebih banyak menafsirkan sebuah ayat dengan menggunakan metode ruhaniah yang berupa intuisi dan kontemplasi untuk menyingkap tabir ayat melalui dzikir dan wirid. Sebab dengan semakin dekat seorang hamba dengan Allah maka semakin benar sebuah penafsirannya. Terlepas dari itu semua ternyata hal ini juga sangat subyektif sebab kemampuan masing-masing individu tidak sama dalam tingkatan tasawuf maka juga tetap saja memunculkan ragam penafsiran terhadap ayat al-Qur’an. b. Tafsir Batini : Penafsiran terhadap Al-Quran dengan pemahaman secara Bathiniyyah. Tafsir Bathini bentuk penafsiran yang mencoba untuk menangkap makna bathin dari al-Qur’an. Penafsiran macam ini berangkat dari hadis Nabi sebagai berikut: "Sesungguhnya Al-Quran mempunyai arti lahir dan batin...” atas dasar inilah sebagian ulama berkeinginan menelusuri lebih dalam lagi makna yang terkandung didalam al-Qur’an. 3. Perbedaan pendapat tentang Tafsir Isyari: Para Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir al-Isyari, di antaranya ada yang membenarkan dan menganggap sebagai tafsir maqbul (diterima) , dan ada yang tidak membenarkankannya dan menganggap sebagai tafsir mardud (ditolak). Ada yang beranggapan sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema`rifatan, ada pula yang berasumsi sebagai suatu penyelewengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT. Pembahasan ini sangat rumit dan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang sungguh-sungguh, teratur dan memerlukan penyelaman yang sangat mendalam. Seandainya tujuan dari tafsir ini adalah mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermainkan ayat-ayat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh aliran kebatinan maka tafsir semacam ini termasuk zindik dan anti Tuhan (atheis). Sebaliknya, apabila tujuan tafsir untuk menunjukkan bahwa kalam Allah tidak dapat dikuasai oleh manusia karena merupakan ucapan dari Sang pencipta segala kekuatan dan kemampuan, serta mengandung beberapa pengertian dan rahasia, hal itu termasuk pemurnian ma`rifat dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan oleh ibnu `Abbas,”Al-Qur`an mengandung berbagai budaya dan ilmu yang lahir maupun batin, keajaiban tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau.”Barang siapa yang menyelaminya dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelaminya dengan cara radikal niscaya akan terjerumus. Al-Qur`an mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabbih yang lahir dan batin. Secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa takwil. Belajarlah dari ulama dan jauhilah orang-orang bodoh.” Berkata Imam Az Zarkasyi dalam Al Burhan: Perkataan orang-orang sufi dalam tafsir Qur’an adalah bukan tafsir. Menurut Sufi, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi. a. Al-Alusi berpendapat bahwa upaya pemahaman terhadap al-Quran tidak hanya melalui pendekatan zahir ayat tetapi yang amat penting adalah pendekatan melalui aspek batin ayat.sebagaimana pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan : “Al-Quran memiliki banyak dahan cabang dan ranting, zahir dan batin, tidak akan habis keajaibannya, dan tidak akan terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang menaikinya secara hati-hati maka ia akan selamat, sebaliknya barangsiapa yang menaikinya secara gegabah, maka akan celaka. Di dalam al-Quran ada akhbar (berita), amsal (perumpamaan), halal, haram, nasikh, mansukh, muhkam, mutasyabih, zahir, dan batin. Zahinrnya adalah bacaan, batinnya adalah takwil. Dekattilah untuk memahami takwil para ulama dan jauhilah untuk memahami takwil orang-orang bodoh.” Cara sufi mengambil makna setiap ayat al-Quran seringkali berdasar isyarat zihniyyah (intuisi). b. Ibnu Taimiyyah berpendapat penafsiran yang dilakukan oleh nabi adalah seluruh ayat al-Quran, sebagaimana Q.S. An-Nahl : 44 : بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤ “ keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” c. Az-Zahabi, berpendapat bahwa Rasululloh saw hanya mentafsirkan sebagian ayat saja. Banyak ulama yang berpendapat bahwa tafsir isyari itu tidak boleh, karena khawatir membuat kebohongan tentang Allah SWT. dalam menafsirkan wahyunya, tanpa ilmu ataupun petunjuk dan bukti yang jelas. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa tafsir ini boleh, menetapkan beberapa syarat yaitu: 1. Hendaknya tafsir isyari itu tidak bertentangan dengan makna zahir dari nazhm Alquran Al-karim. 2. Tidak boleh dianggap bahwa hasil tafsir isyari itu adalah satu-satunya arti tanpa mengabaikan zahirnya ayat tersebut, atau mengabaikan hasil penafsiran metode lain. 3. Tidak bertentangan dengan syari’at atau dengan akal 4. Harus punya bukti atau dalil syar’i yang menguatkannya. Itulah syarat-syarat yang harus diikuti ketika seseorang ingin menggunakan tafsir isyari. Apabila selurah syaratnya terpenuhi maka penafsirannya dapat diterima, tapi apabila ada yang tidak terpenuhi maka penafsirannya tidak dapat diterima. 4. Perkembangan dan pertumbuhan Tafsir Isyari abad kedua hingga sekarang; Timbulnya tafsir sufi dalam sejarah intelektual Islam bersamaan dengan tumbuhnya sejarah dalam Islam. Para sejarawan sepakat bahwa tasawuf dalam arti hidup zuhud dan menjauhi keterikatan dengan dunia telah ada sejak zaman Rasululloh saw tetapi timbulnya tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu dan amaliah yang khusus dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt datang kemudian. Demikian juga tafsir tasawuf, meskipun kecenderungan orang untuk berfikir secara sufistik telah ada sejak tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan di zaman Dinasti Abbasyiah, tetapi tafsir sufi yang ditulis secara sistematis dan mencakup keseluruhan ayat-ayat al-Quran muncul kemudian. a. Mufasir pertama yang mencoba menafsirkan al-Quran dengan pendekatan sufistik adalah Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Isa bin Abdillah at-Tustari. Menurutnya penafsiran diawali dengan pengertian makna-makna lahir lalu disusul dengan penjelasan makna batin, had dan matla setiap ayat. Jadi setiap ayat mengandung makna lahir dan makna batin. b. An-Naisaburi mentafsirkan Al-Quran secara Ikmali (lengkap) yaitu “Garaib al-Quran wa Ragaib al-Furqan”. c. Abu Abdirrahman Muhammad bin Husain bin Musa Al-Azdi As-Sulami, Tafsir “ Haqaiq at-Tafsir”. Beliau tidak mengangkat pengertian lahir dari setiap ayat, melainkan beliau secara langsung memahami ayat-ayat secara Isyari. Walupun demikian beliau tidak berarti menolak pengertian lahir. d. Imam Qusyairi, nama tafsirnya Lataif al-Isyarah. Kitabnya Risalah Qusyairiyyah.metode tafsirnya menggunakan pendekatan sufistik. e. Abu Muhammad As-Syirazi, Tafsir “ Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran” . metode tafsirnya secara sufistik, beliau tidak mengangkat tafsiran-tafsiran secara zahir, tetapi beliau langsung memahami ayat-ayat al-Quran secara isyari. Namun beliau tetap mengakui pentingnya penggunaan interprestasi al-Quran secara zahir sebelum mengungkap penafsiran secara esoteris. f. Najm ad-Din Dayahdan ‘Ala ad-Daulah as-Samnani, tafsirnya “ At-Ta’wilat An-Najmiyyah”. Allah yang membuat perumpamaan bagi orang-orang beriman. g. Al-‘Alamah al-Muhaqqiq Syihab ad-Din as-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Bagdadi.Tafsir Ruh al-Ma’ani. Metodenya pertama dengan menghimpun riwayat-riwayat dari ulama khalaf (mutaakhir) yang dapat diterima.kedua menyusun secara sistematis pemahaman melalui teks ayat (redaksi ayat) dan penafsiran yang didekati melalui isyarat. h. Al-Imam As-Syaikh Ismail Haqqi al-Burusawi. Tafsirnya Ruh al-Maani, Tafsir sufi “ Ruh al-Bayan”.Metodenya tidak jauh dengan Al-Alusi , yaitu mula-mula mengungkap makna-makna setiap ayat secara lahir, gamblang,, luas dan mendalam dengan menggunakan pendekatan riwayat yang sahih dari nabi.Setelah itu baru beliau menulis pemaknaan ayat secara Isyari. 5. Tema-tema Tafsir secara Isyari : a. Tanzih dan Tasybih Tanzih adalah pernyataan ketidak sebandingan yang paralel dengan konsep bahwa Tuhan adalah yang tidak tampak. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-an’am ayat 103 : لَّا تُدۡرِكُهُ ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَهُوَ يُدۡرِكُ ٱلۡأَبۡصَٰرَۖ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلۡخَبِيرُ ١٠٣ “ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” Tasybih adalah pernyataan yang menunjukan bahwa keserupaan yang paralel dengan konsep bahwa Tuhan adalah yang tampak. Sebagaimana Q.S. al-Baqarah ayat 115) وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ١١٥ “ Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” b. Ad-diin Ad-diin yang dimaksud adalah agama , sebagaimana halnya dalam Q.S. ayat 19 إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِۗ وَنُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٖ يَعۡلَمُونَ ١١ “ Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui” (Q.S. At-Taubah : 11) “ Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.”(Q.S. Az-Zumar : 2-3) 
  3.  Al-Iman dan al-Hikmah Al-Iman adalah penyaksian Allah atas keesaan dirinya atas dasar Berita. Al-Hikmah adalah Ajaran-ajaran bathiniyah yang khusus diterima Rasul dan para ahli warisnya setelah Rasul mendapatkannya, disebut ilmu bathin.Al-Hikmah adalah warisan (ilmu bathin) yang diwariskan oleh keseluruhan para Nabi, para wali dan bukan dari Nabi Muhammad, tetapidari hakikat Muhammaddiyyah. Ilmu ini disebut juga ilmu yang diambil dari Misykat an-Nabi. Karakteristik al-Hikmah adalah ia turun pada hati bukan pada akal. Itulah sebabnya Ibnu Arabi menyatakan “ Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan hikmah pada hati insan kamil”. 
  4.  Azh-Zahahir dan al-Baathin Azh-Zahair adalah mengartikan bahwa Tuhan itu yang nampak di depan mata. Hal ini berdasarkan Q.S. al-Hadid ayat 3 : هُوَ ٱلۡأَوَّلُ وَٱلۡأٓخِرُ وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلۡبَاطِنُۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٌ ٣ “ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu) Para Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan makna Zahir dan Batin. Menurut Manna al-Qattan, makna Zahir adalah yang segera dipahami hati sebelum yang lain. Sedangkan “Batin” adalah makna yang dibalik zahir berupa isyarat-isyarat yang samar yang hanya nampak kepada ahli suluk. Ibnu Naqib mengatakan “Zahir” adalah makna yang tampak bagi para ahli ilmu secara jelas. “Batin” adalah rahasia yang terkandung di dalamnya yang diperlihatkan Allah swt kepada para ahli hakekat. Al-Bathin adalah bahwa Tuhan itu tidak nampak, Dia adalah ruh setiap yang nampak, maka Dialah yang Bathin. Hubungan Tuhan dengan alam yang nampak bagaikan hubungan ruh yang mengatur bentuk dengan apa yang nampak.
  5.  Toharoh, zakat, dan Haji,Toharoh ,Zakat ,Haji adalah merupakan ibadah dan merupakan rukun Islam. Rukun Islam yang lima menurut Ibnu ‘Arabi diibaratkan seperti tiang-tiang penyangga bagi berdirinya sebuah bangunan rumah. Adapun Iman adalah rumahnya itu sendiri. Rumah itu mempunyai pintu, dan pintunya adalah mengucapkan syahadat. Tiang-tiang rumah itu ada empat : Salat, Zakat, saum dan haji. Dengan demikian manusia berakal harus membangun rumah bagi dirinya suatu rumah yang dapat melindungi dirinya di hari kiamat dari sengatan api neraka.
0 Komentar untuk "EPISTIMOLOGI TASAWUF sebagai bahan diskusi pembahasan ajaran Islam "

Back To Top