ads
ads

Fana’ dan Baqa’ dalam Akhlak Tasawuf sebagai ciri khas Hakikat

 FANA DAN BAQA

Fana’ dan Baqa’ sebagai ciri khas Hakikat Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj (w.922) yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan ‘Ana al-Haqq’ yang berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat ‘la ilaha illa Allah’ tidak lagi kita artikan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, melainkan ‘Tidak ada realitas (hakikat) yang sejati kecuali Allah’. 

Di sini dapat dipahami bahwa hanya Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu. Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan ‘fana’. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqa’, saat ketika seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. 

Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak Persia, Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya sendiri, memakan dirinya sendiri. Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan gambaran seekor ngengat (yang diumpamakan sebagai jiwa manusia) yang sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin (yang diumpamakan sebagai Kebenaran) hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah konsep mengenai fana dan baqa’. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai ‘annihilation’, ‘extinction’, atau ‘cessation of being’, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa Arab tidak ada kata kerja ‘to be’, dan mengacu pada istilah Jerman tradisional Entwerden, ‘de- becoming’, sebagai yang lebih akurat. 

Nah, di sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar. Sebelum sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disenut Fana. Penghancuran dalam istilah sufi senantiasa diiringi oleh baqa artinya tetap, terus hidup, to remain; persevere) Fana dan baqa merupakan kembar dua. Istilah Fana oleh kaum sufi dipakai untuk menandakan guguran sifat-sifat tercela, sedangkan baqa untuk menandakan ketampakan sifat-sifat terpuji. Fana’ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika proses ini selesai, maka ‘baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi pun terbangun – kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, ‘kesatuan’ dengan Tuhan. 

Konsep mengenai fana’ dan baqa’ ini telah ditafsirkan sebagai kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas (salah satu pengertian dari tarekat) atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan Tuhan.
0 Komentar untuk "Fana’ dan Baqa’ dalam Akhlak Tasawuf sebagai ciri khas Hakikat"

Back To Top