KONSEP MORAL
Setiap bangsa yang memiliki kualitas kepemimpinan hebat, mampu menciptakan kebersamaan dan kolektivitas dinamis.Tercatat dalam sejarah peradaban manusia, para pemimpin terkenal memiliki kemampuan menghadapi situasi yang sarat dengan persaingan, bahkan mampu menciptakan daya saing dan keunggulan yang tinggi.Begitu pula dalam konteks pergaulan dan hubungan bangsa dan negara, mampu berperan secara aktif dan positif.
Pada hakekatnya pemimpin memiliki tanggungjawab, baik terhadap diri sendiri, masyarakat dan kepada Allah swt. Tanggungjawab inilah yang pada dasarnya terkait dengan moral kepemimpinan. Kehidupan keseharianpun tidak lepas dari bagaimana seseorang melakukan kepemimpinan, baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain. Rosulullah dan para sahabatnya telah memberi contoh kepemimpinan yang mampu membawa manusia mencapai mardhatillah.
Lao-Tzu, filsosof dari Cina yang hidup pada abad ke enam sebelum masehi menyatakan seorang pemimpin dalam tingkatannya yang paling baik, ialah ketika orang-orang nyaris tidak membantah (taat).Dalam tingkatannya yang lebih rendah, ialah ketika orang-orang berpura-pura taat dan mengelu-elukannya.Dalam tingkatannya yang paling buruk, ialah ketika orang mencampakannya apabila orang tersebut sudah tidak lagi menjadi pemimpin(Syou’ib, 1980: 79).Oleh sebab itu untuk menjadi pemimpin pada galibnya harus disiapkan dan menyiapkan diri.
Sejalan dengan era reformasi yang penuh ketidakpastian, yang sekaligus penuh dengan dinamika perubahan, para pemimpin dituntut siap menghadapi perubahan, mengembangkan potensi kepemimpinan dalam proses transformasi dinamis. Sebab, orang-orang yang selalu berusaha maju, berani menghadapi perubahan dan mengembangkan kemampuan kepemimpinannya, adalah bagian yang sangat penting dari masa depan dan merupakan sebagian dari moral kepemimpinan. Pengalaman mengajarkan, bahwa untuk menjadi pemimpin dituntut memiliki beberapa persyaratan moral kepemimpinan, tidak peduli apakah ia pemimpin formal atau non formal. Ia wajib memiliki karakter dan jati diri. Kedua hal ini adalah kunci untuk suksesnya memimpin, baik untuk sendiri, lingkungan, organisasi atau bahkan tingkat negara sesuai dengan kepemimpinan yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam konteks kepemimpinan, moral menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dalam intekaksi dan harmonisasi hubungan antara pemimpin dan orang yang dipimpinnya. “Moral kepemimpinan merupakan suatu perbuatan atau perilaku seseorang pemimpin. Prilakukan itu antara lainberupa menyusun tata hubungan kerja, memberikan pujian atau kritik terhadap anggota kelompok serta mengupayakan kesejahteraan dan kepuasan kelompok.” (Ahmad Rustandi, 1985:14-15).
Prinsip moral kemanusiaan itu sendiri sangat terkait dengan agama, terutama dengan rasa ketuhanan.Rasa kemanusiaan hanya terwujud jika dilandasi rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan yang lepas dari rasa ketuhanan, akanmenyebabkan terjadinya praktek-praktek pemutlakan sesama manusia. Karena itu kemanusiaan sejati harus bertujuan pada keridlaan Tuhan semata.Orientasi keridlaan Tuhan ini merupakan landasan bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan seseorang. (Madjid, 2000 : 102).Moral pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat secara umum adalah adil, jujur, cerdas dalam bertindak, berani membela kebenaran, memiliki sikap ramah, lemah lembut dalam bertutur dan bertindak.
Dalam suatu masyarakat yang memiliki kesadaran sosial, tentunya setiap orang diharapkan dapat melakukan apa yang benar secara moral, etis dan mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Moral adalah tradisi kepercayaan mengenai perilaku benar dan salah.Moral dipelajari setiap orang sejak kecil sewaktu yang bersangkutan masih anak-anak.Sejak kecil, anak-anak sudah membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak, atau mana tindakan terpuji dan tercela. Sebagai contoh: anak-anak diminta berlaku sopan terhadap orang tua, menghormati guru, atau tidak menyakiti teman-temannya. Pada saat anak-anak telah dewasa, dia akan mempelajari berbagai peraturan yang berlaku di masyarakat dan diharapkan untuk diikuti. Peraturan-peraturan tingkah laku itu adalah perilaku moral yang diharapkan dimiliki setiap individu.
Walaupun masyarakat tidak mengikuti satu set moral yang sama, tetapi terdapat keseragaman kuat yang mendasar. “Melakukan apa yang benar secara moral” merupakan landasan perilaku sosial.Tindakan juga diarahkan oleh nilai moral dan etika (ethics) yang berarti karakter. “Etika adalah satu set kepercayaan, standar, atau pemikiran yang mengisi suatu individu, kelompok atau masyarakat.” (Amin, 1991: 1).Nilai moraldisebut juga normayang mengatur diri pribadi manusia dalam hal kepercayaan dan kesusilaan, serta mengatur hubungan interaktif antar manusia dengan manusia dan manusia dengan makhluk lainnya khususnya dalam hal kesopanan dan hukum. Sedangkan sikap dan tindakan manusia yang dapat menyerasikan harmonisasi antara keterikatan dan kebebasan, ketertiban dan ketentraman, kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kelestarian dan inovasi dengan berdasarkan tata nilai yang dianut oleh masyarakat.
Nilai moral memiliki empat ciri utama, yaitu berkaitan dengan pribadi yang bertanggung jawab, berkaitan dengan hati nurani, mewajibkan manusia secara absulut dan tidak bisa ditawar-tawar, dan bersifat formal. Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan.
Pendidikan menjadi bagian penting untuk membentuk nilai-nilai moral. Menurut Winecoff (1988: 3) “Values education-pertains to questions of both moral and nonmoral judgement toward object; includes both aesthetics (ascribing value 10 objects of beauty and personal taste) and ethics (ascribing avlues of right and wrong in the interpersonal realm). Pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut nonmoral, yang meliputi estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antarpribadi. Pendidikan menjadi media utama untuk meningkatkan moralitas manusia. Pendidikan menjadi modal dasar manusia dalam membentuk kepribadian yang lebih baik dan memudahkan manusia untuk mencapai kesuksesan dan kebahagian dunia dan akhirat.
Moral berasal dari bahasa Latin “mores”, kemudian diterjemahkan menjadi "aturan kesusilaan".Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan, sopan santun, dan tidak cabul. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik (Sumaryono, 1995: 3).Moral dan etika pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yangmenurut keyakinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secarabenar dan layak.Dengan demikian prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikapyang benar dan yang salah yang mereka yakini.Etika sendiri sebagai bagian dari falsafahmerupakan sistim dari prinsip-prinsip moral termasuk aturan-aturan untukmelaksanakannya.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.Moral dalam perspektif ajaran Islam adalah akhlak, yaitu keadan batin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan yang muncul secara spontan tanpa memperhitungkan untung dan rugi”Al-Gazali (dalam A. Rahman, 1984: 3).
Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dannorma yang menenentukan prilaku manusia dalam hidupnya. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola prilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok (Burhanuddin Salam, 1997:1). Moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan penjewantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan ke mana kita harus melangkah dalam hidup ini. Moralitas langsung menyatakan kepada kita : “Inilah caranya Anda harus melangkah”, adapun etika mempersoalkan : “apakah saya harus melangkah dengan cara itu?” dan “Mengapa harus dengan cara itu?”.
Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jama’ dari khuluq atau khulq yang secara lughah (bahasa) berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Muhammad Daud Alim, 2002 : 346). Kalimat tersebut mengandung persesuaian dengan perkataan khulqun yang artinya kejadian dan sangat erat hubungannya dengan kata khaaliqun yang berarti pencipta, serta erat pula kaitannya dengan kata makhluuqun yang berarti diciptakan. (Bakri A. Rahman, 1993 : 3).Apabila akhlak dihubungkan dengan kata khalqun, khaaliqun dan makhluuqun, akan menghasilkan makna akhlak sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaaliq dan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq. Dan itulah essensi dari khuluq sebagaimana firman Allah :
Artinya :“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) mempunyai “khuluq” yang amat tinggi.” (Al-Qalam : 4) .
Dalam pandangan Muhammad Daud Ali (2002 : 248), akhlak islami adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak, jika memenuhi beberapa syarat, yaitu dilakukan berulang-ulang, dan timbul dengan sendirinya.
0 Komentar untuk "KONSEP MORAL DALAM ISLAM"