Aspek Demokratis dari Sholat Berjamaah
Aspek psikologis
pertama shalat berjamaah adalah aspek demokratis. Hal ini terlihat dari
berbagai aktivitas yang melingkupi shalat berjamaah itu sendiri, antara lain:
1. Memukul kentongan atau bedug
Di masjid, langgar,
surau, atau musholah terutama di pedesaan dan sebagian di perkotaan ada
kentongan atau bedug sebagai tanda memasuki waktu shalat. Dalam hal ini siapa
saja boleh memukul kentongan atau bedug tersebut, tentunya harus mengerti
aturan atau kesepakatan di daerah tersebut. Ini berarti Islam sudah menerapkan
bahwa kedudukan manusia sama, tidak dibedakan berdasarkan berbagai atribut
kemanusiaan. Konon tanda ini diciptakan oleh Sunan Kali Jogo salah seorang wali
sanga (sembilan) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa syarat dengan
simbul-simbul. Menurut orang jawa bunyi kentongan adalah “thong…thong…thong…”
artinya masjidnya masih kothong (kosong), kemudian disilahkan masuk dengan
bunyi bedug, yaitu”bleng…bleng…bleng…”. Dalam bahasa Jawa ada kata untuk
meyangatkan, misalnya: masuk “(mlebu…bleng…)”, lari (mlayu…jranthal),
dan sebagainya.
2. Mengumandangkan adzan
Adzan merupakan tanda waktu shalat dan harus
dikumandangkan oleh “tukang adzan” (bang atau muadzin). Siapa yang
mengumandangkan adzan tidak dipersoalkan
oleh Islam karena
pada prinsipnya siapa saja boleh. Namun, perlu diingat bahwa adzan adalah
bagian dari syiar Islam, sehingga memang benar-benar orang yang mengerti dan
diharapkan mempunyai suara yang bagus (lafal, ucapannya baik dan benar) syukur
mempunyai “nafas” yang panjang, sehingga pada saat adzan tidak terputus
ditengah jalan. Nabi Muhammad SAW sendiri memilih Bilal manta budak yang hitam
legam kemudian masuk Islam sebagai “bang (tukang adzan) karena kuat suara dan
fasih lafalnya”. Pengangkatan Bilal sebagai “bang” ini juga sudah merupakan
suatu revolusi yang sangat luar biasa, karena pada saat itu yang namanya budak
sudah tidak dihargai lagi harkat dan martabat kemanusiaan. Isalam justru datang
untuk memerdekakan budak (Bilal) kemudian memperoleh kehormatan menjadi orang
yang menyeru kepada kebaikan. Sayang saat ini banyak yang tidak memahami fungsi
adzan ini, misalnya banyak muazin anak-anak atau para manula/lanjut usia.
Sehingga suaranya tidak bagus, lafalnya tidak pas (fasih) dan bahkan sering
terputus (tidak kuat) di tengah jalan.
3. Melantunkan iqomat
Kalau adzan adalah
tanda waktu memasuki shalat, maka iqomat adalah sebagai tanda bahwa shalat
(berjamaah) akan segera dimulai. Ibarat tentara dalam militer, maka iqamat ini adalah “aba-aba” pasukan
akan diberangkatkan. Sepertihalnya memukul bedug dan adzan, maka iqamat ini
juga dapat dilakukan oleh siapa saja bahkan tidak harus yang tadi beradzan.
Para jamaah tidak boleh atau bisa menghentikan seseorang untuk iqamat
dikarenakan ada teman atau “bosnya” belum datang. Diharapkan jarak antara adzan
dan iqamat tidak terlalu lama hal ini sekaligus pula menggambarkan masalah
kedisiplinana dan penghargaan terhadap waktu. Salah satu contoh di Pondok
Pesanteren Suryalaya, jarak antara adzan dan iqamat hanyalah shalat sunat.
Sehingga mereka tidak akan dapat “beleha-leha, seenaknya”, kalua hal ini
dilakukan berarti mereka akan ketinggalan shalat berjamaah. Namun tidak jarang
terjadi di suatu masjid jarak antara adzan dan iqamat sangat panjang, bahkan
sudah diselingi berbagai macam pujian atau bacaan shalawat namun baik makmum
maupun imamnya belum juga datang. Sehingga sering ada gurauan: “memukul
kentongan sendiri, adzan dan iqamat juga dia sendiri, saat mendirikan shalat
juga sendiri…ada yang lewat…borongan nich yee…”.
4. Pemilihan/pengisian “ barisan/shaf”
Pada saat seseorang
masuk ke Masjid maka siapa saja tidak pandang bulu, apakah ia seorang
mahasiswa, dosen, guru besar atau karyawan; apakah ia guru atau murid; apakah
ia kopral/jendral; apakah ia presiden/pesinden; apakah dia mentri/mantri;
apakah ia seorang konglomerat/gembel, atau atribut yang lain. Siapa pun ia
memperoleh hak di depan atau shaf pertama atau dengan kata lain siapa yang
datang dahulu maka boleh menempati tempat yang paling “ terhormat “ yaitu di
depan. Bahkan dalam hadist disebutkan “kalau engkau mengetahui fadhilah shaf
pertama,maka engkau meminta untuk diundi” . Namun sering mereka memasuki
masjid seperti masuk ke gedung bioskop, yaitu justru menempati barisan paling
belakang dan justru yang depan tidak terisi. Hal ini sering justru memberi
kesempatan kepada jamaah yang datang akhir akan melakukan yang tidak di
anjurkan oleh agama, yaitu melewati para jamaah yang datang lebih awal bahkan
mungkin melompatinya.
5. Proses pemiliha imam
Shalat berjamaah
harus da yang menjadi imam dan makmum, meski itu hanya berdua. Apabila
diperhatikan maka seolah-olah ada suatu musyawarah untu memilih imam (pemimpin)
dalam shalat yang dilakukan di masjid, langgar, surau/musholah. Ternyata unuk
menjadi imam harus memenuhi kriteria tertentu, sesuai dengan hadist:
“Orang yang menjadi
imam hendaknya yang paling baik bacaannya (dalam mambaca) Al-Quran. Jika mereka
sama baiknya dalam bacaan, maka orang yang paling mengetahui sunah. Jika mereka
sama pengetahuannya tentang sunah, maka orang yang paling dahulu hijrah. Jika
mereka bersamaan dalam hijrah, maka orang yang paling tua umurnya. Dan
janganlah seseorang diimami (orang lain) di rumahnya, dan tidak duduk atas
penghormatannya kecuali dengan izinnya (HR.Muslim
dan Ashabus Sunan).”
Jadi dapat
disimpulkan bahwa seorang imam secara gradasi mempunyai persyaratan sebagai
berikut:
1.
Fasih bacaan Al-Quran
2.
Mereka yang mengerti hadist-hadist nabi
3.
Lebih dahulu hijrahnya, kalau tidak ada maka dipilih,
4.
Yang lebih tua
5.
Diutamakan tuan rumah daripada tamu
6.
Imam adalah salah seorang dari mereka yang disenangi
dalam kelompok tersebut bukan yang dibenci, tidak disukai atau ditolak.
“Dari Abdulah bin
Amrra. Nabi bersabda: Ada tiga golongan yang tidak diterima shalatnya:(1) Orang
yang maju ke depan kaum untuk menjadi imam, sedangkan mereka membencinya, (2)
Orang yang biasa mengakhirkan shalat (waktunya terlah habis), (3) Orang yang
memperbudak orang yang merdeka”.
Hal ini menunjukkan
bahwa untuk menjadi imam (pemimpin) memerlukan syarat-syarat tertentu atau
kualifikasi tertentu namun hal ini tidak diperlukan bagi makmum. Hal ini
dijelaskan oleh dai sejuta umat KH. Zainuddin MZ. (1993), yaitu bahwa untuk
memilih pemimpin harus ada syarat-syarat atau kriteria tertentu, sedangkan
untuk menjadi rakyat atau masyarakat umum tidak perlu adanya”persyaratan”
seperti memilih pemimpin. Disamping itu makmum suatu saat juga dapat menjadi
imam sehingga seorang makmum harus mempersiapkan menjadi imam. Sehingga regenerasi
atau pergantian pemimpin akan terjadi secara alamiah, tidak harus dengan demo
atau kudeta. Di samping itu pada saat sebelum shalat, selama shalat dan setelah
menjalankan shalat maka ada tingkah laku imam yang dapat kita kaji:
a. Imam sebelum melakukan shalat harus memperhatikan
jamaah, terutama memeriksa barisan (shaf) kemudian memerintahkan agar lurus dan
merapatkan barisan, karena rapat dan barisan itu salah satu kesempurnaan
shalat.Adapun ucapan imam yang disunahkan adalah: “Samaratakanlah shafmu,
karena menyamaratakan shaf itu merupakan kesempurnaan shalat
(HR.Bukhari-Muslim).”
b. Imam adalah manusia biasa sehingga dimungkinkan
untuk lupa, salah bacaan atau salah gerakan atau batal, misalnya buang angin
(kentut). Hal ini ada prosedur untuk mengingatkan, membetulkan, atau mengganti
imam oleh makmum, antara lain:
·
Kalau imam lupa, maka
makmum dengan segera wajib untuk mengingatkan, yaitu dengan membaca “ Subhanallah
(Maha Suci Allah)” bila jamaah laki-laki; dan bertepuk tangan; bila jamaah
wanita.
·
Bila imam melakukan
kesalahan, terutama bacaan maka makmum harus segera membenarkan. Dalam hal ini
imam tidak boleh tersinggung atau marah bila dibetulkan oleh makmum yang
mungkin mempunyai tingkatan atau posisi yang lebih rendah. Pada saat berlangsung
shalat imam (pemimpin) ini tetap harus memperhatikan makmum. Nabi pernah
memperpendek shalat gara-gara Beliau mendengar seorang anak kecil sedang
menangis. Nabi juga pernah memarahi sahabatnya yang mengimami shalat dengan
bacaan-bacaan yang terlalu panjang, hingga para makmum mengeluh. “ Jangan
membuat fitnah,”kata nabi (Mustofa Bisri, 1995) menegur sang imam. Jadi ima
harus memperhatikan makmumnya, mungkin ada yang kuat tapi ada juga yang lemah,
ada yang sehat namun ada pula yang kurang sehat, ada yang banyak waktu, ada
pula yang terburu-buru dan sebagainya. Ditambahkan oleh KH. Drs. Effendi
Zarkasi (1999) hal ini mengisyaratkan bahwa pemimpin harus mengerti “
penderitaan rakyat”.
·
Kalau imam batal,
misalnya buang angin (kentut), maka secara otomatis ia harus mundur, harus “lengser”
dengan “jujur dan legowo”. Meskipun makmum tidak tahu kalau imam
tersebut batal, dan juga tidak harud “didemo” oleh makmum ia harus mundur
dengan baik-baik dan dengan prosedur yang benar. Kemudian makmum yang paling
depan menggantikan imam, dan tidak harus membuat shalat baru melainkan,
langsung meneruskan apa yang kurang dari imam yang lama. Hal ini mengisyaratkan
bahwa kalau pemimpin sudah “batal atau dianggap batal oleh makmum” ia harus
lengser, dan makmum (rakyat) terutama yang dibelakangnya (punya kemampuan)
harus segera menggantikannya.
Alangkah indahnya dan
bagusnya nilai-nilai demokratis yang terdapat dalam shalat tersebut dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, masyarakat,
organisasi, pemerintah (negara) dan yang saat ini sangat ramai dibicarakan,
yakni”kehidupan partai”.
0 Komentar untuk "Aspek Demokratis dari Sholat Berjamaah"