Islam dan Nusantara
Akhir-akhir ini kaum
akademisi Muslim sedang disibukkan oleh wacana kontroversial bertajuk Islam
Nusantara (INus). Dua tokoh organisasi Islam Nusantara, NU dan Muhammadiyah,
menyambut wacana ini dengan antusias berupa kajian dan opini publik berdasarkan
subjektivitas masing-masing.
Sebagai contoh, tulisan saudara Muhammad Sulton Fatoni, wakil sekjen Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, dosen STAINU Jakarta, dan kesimpulan seminar saudara Abdul Munir Mulkan yang mengangkat tokoh Sukarno sebagai representasi Islam berbudaya yang ia klaim sebagai mewakili Islam Rahmatan lil ’alamin.
Jika diekstrak, penulis opini di Harian Republika, Jumat, 19 Juni 2015, dengan tajuk NU dan Islam Nusantara ini ingin menyampaikan pesan beberapa karakter Islam Nusantara. Pertama, sudut pandang mazhab. Islam Nusantara adalah ekspresi keagamaan berdasarkan mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, alur pikir Imam Abu Hasan al-‘Asy’ary, dan corak tasawuf konsep Imam al-Ghazaly serta Imam Abi al-Hasan al-Syadzili.
Sebagai contoh, tulisan saudara Muhammad Sulton Fatoni, wakil sekjen Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, dosen STAINU Jakarta, dan kesimpulan seminar saudara Abdul Munir Mulkan yang mengangkat tokoh Sukarno sebagai representasi Islam berbudaya yang ia klaim sebagai mewakili Islam Rahmatan lil ’alamin.
Jika diekstrak, penulis opini di Harian Republika, Jumat, 19 Juni 2015, dengan tajuk NU dan Islam Nusantara ini ingin menyampaikan pesan beberapa karakter Islam Nusantara. Pertama, sudut pandang mazhab. Islam Nusantara adalah ekspresi keagamaan berdasarkan mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, alur pikir Imam Abu Hasan al-‘Asy’ary, dan corak tasawuf konsep Imam al-Ghazaly serta Imam Abi al-Hasan al-Syadzili.
Kedua, sudut pandang
budaya. Islam Nusantara merupakan pertemuan Islam normatif dan kondisi sosio
budaya masyarakat Jawa. Pertemuan ini tampak dari tradisi ziarah kubur, talkin
mayat, sedekah untuk mayat, menyakini adanya syafaat, bermanfaatnya doa dan
tawasul.
Tradisi keagamaan lain dari inspirasi budaya Jawa adalah mencintai keturunan Rasul, para wali, dan orang saleh serta mengharap keberkahan dari mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Dengan kata lain, Islam Nusantara adalah mental dan karakter keberagamaan yang dipengaruhi struktur wilayah kepulauan.
Ketiga, sudut pandang ideologis. Islam Nusantara dianggap sebagai Islam moderat yang toleran sebagai sikap menghadapi problem sosial berupa derasnya tantangan liberalisme, kapitalisme, sosialisme, dan radikalisme.
Agar lebih objektif, karena istilah itu memang tidak tertera dalam Alquran dan as-Sunnah melainkan sekadar produk pemikiran manusia, maka lebih baik disebut Islam dan nusantara. Sebab, Islam datang dari Allah melalui Rasulullah dan untuk seluruh alam semesta, bukan hanya Indonesia.
Hal lain juga untuk menghindari bahwa istilah Islam Nusantara mutlak kebenarannya hanya karena diusung seorang presiden. Sebab, istilah ini sudah masuk ranah kajian keagamaan Islam yang tidak boleh mengabaikan sumber autentiknya, seperti Alquran dan as-Sunnah.
Arus yang berkembang dalam upaya pemaknaan istilah Islam Nusantara terdiri atas dua arus utama. Pertama, Islam Nusantara dimaknai sebagai semacam akulturasi Islam dengan budaya lokal. Islam sesungguhnya tak pernah menentang budaya manusia selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Tradisi keagamaan lain dari inspirasi budaya Jawa adalah mencintai keturunan Rasul, para wali, dan orang saleh serta mengharap keberkahan dari mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Dengan kata lain, Islam Nusantara adalah mental dan karakter keberagamaan yang dipengaruhi struktur wilayah kepulauan.
Ketiga, sudut pandang ideologis. Islam Nusantara dianggap sebagai Islam moderat yang toleran sebagai sikap menghadapi problem sosial berupa derasnya tantangan liberalisme, kapitalisme, sosialisme, dan radikalisme.
Agar lebih objektif, karena istilah itu memang tidak tertera dalam Alquran dan as-Sunnah melainkan sekadar produk pemikiran manusia, maka lebih baik disebut Islam dan nusantara. Sebab, Islam datang dari Allah melalui Rasulullah dan untuk seluruh alam semesta, bukan hanya Indonesia.
Hal lain juga untuk menghindari bahwa istilah Islam Nusantara mutlak kebenarannya hanya karena diusung seorang presiden. Sebab, istilah ini sudah masuk ranah kajian keagamaan Islam yang tidak boleh mengabaikan sumber autentiknya, seperti Alquran dan as-Sunnah.
Arus yang berkembang dalam upaya pemaknaan istilah Islam Nusantara terdiri atas dua arus utama. Pertama, Islam Nusantara dimaknai sebagai semacam akulturasi Islam dengan budaya lokal. Islam sesungguhnya tak pernah menentang budaya manusia selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Islam hanya melarang
mencampuraduk antara yang hak dan batil, juga dilarang menyembunyikan kebenaran
yang datang dari Islam sebagai alternatif mengganti kebatilan yang ada, padahal
kita tahu yang benar itu. (QS al-Baqarah: 42). Islam sendiri adalah kebenaran
dari Allah yang Maha Benar, pencipta seluruh manusia dan alam semesta. (QS Ali
Imran: 19). Allah bahkan menginginkan kebaikan bagi seluruh manusia. (QS
an-Nahl: 30).
Tanpa harus merujuk kepada Alquran, kebaikan dan keburukan sudah bisa diterawang menggunakan akal dan naluri manusia. Hanya agar lebih tepat karena manusia sering menggunakan nafsu maka Alquran diturunkan sebagai pedoman dan pembeda yang benar dan salah. Manusia diberi kebebasan memilih dengan konsekuensi dari piilihannya itu.
Tanpa harus merujuk kepada Alquran, kebaikan dan keburukan sudah bisa diterawang menggunakan akal dan naluri manusia. Hanya agar lebih tepat karena manusia sering menggunakan nafsu maka Alquran diturunkan sebagai pedoman dan pembeda yang benar dan salah. Manusia diberi kebebasan memilih dengan konsekuensi dari piilihannya itu.
Kedua, istilah Islam
Nusantara ingin diarahkan kepada upaya menusantarakan Islam. Upaya ini selain
akan menyempitkan makna Islam, juga mereduksi Islam sebagai petunjuk bagi
manusia. Sebab, menusantarakan Islam akan berimbas pada penolakan simbol-simbol
keislaman yang tak sesuai dengan budaya nusantara yang juga tidak begitu jelas
asal muasalnya.
Simbol Islam yang
"dituduh" sebagai simbol Arab akan dianggap bertentangan dengan
nilai-nilai nusantara. Dikhawatirkan lambat laun, pemikiran ini akan berujung
pada sekulerisasi ala Turki oleh Kemal Attaturk yang mengubah azan dengan
bahasa Turki, jilbab dilarang, masjid dialihfungsikan, pelarangan nama bayi
dengan bahasa Arab, dan seluruh perilaku maksiat dibolehkan atas nama kearifan
lokal.
Attaturk menganggap
Islam tak sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Sebaliknya, Islam dianggap
kuno dan mencerminkan kemunduran budaya. Apakah ini yang akan terjadi di negeri
ini?
Dengan istilah Islam
dan nusantara diharapkan bisa dipisahkan keduanya agar kita bisa mendefinisikan
apa itu Islam, sumber hukumnya, visinya bagi dunia, sebab turunnya, dan sejarah
penyebarannya oleh Rasulullah dan pelanjutnya hingga ke Indonesia. Sementara,
nusantara sama kedudukannya dengan Jazirah Arab, Amerika, Afrika, bahkan Cina.
Nusantara merujuk pada
wilayah yang kini bernama Indonesia. Prinsip Islam yang dibawa Rasulullah bukan
menusantarakan Islam, tapi mengislamkan nusantara, mengislamkan dunia tanpa
paksaan. Sebab, yang benar itu telah jelas dan yang tidak benar juga sudah
jelas. Islam hanya tidak memberikan toleransi pada setiap bentuk kejahatan,
kezaliman, kerusakan, dan kesewenang-wenangan.
Islam menginginkan keadilan sosial yang sempurna dan dapat dirasakan seluruh umat manusia, tanpa memandang agama, suku, warna kulit, atau bahasa. Islam bukanlah Arab. Buktinya, dakwah Islam yang dibawa Rasulullah justru diawali penolakan orang-orang Arab juga karena dianggap tak sesuai budaya dan kebiasaan Jahiliyah saat itu.
Jika Islam Nusantara ditafsirkan dangkal dan emosional dengan mengabaikan Alquran dan as-Sunnah dengan menjadikan budaya lokal sebagai tolok ukur kebenaran dan keburukan maka istilah Islam Nusantara dikhawatirkan akan menjadi bagian propaganda neomodernisme alias "agama baru" dan "aliran baru". Sesuatu yang sedang disusupkan melalui para tokoh politik dan agama sebelum memasuki fase postmodernisme, yakni menghilangkan Islam dari bumi nusantara.
Islam menginginkan keadilan sosial yang sempurna dan dapat dirasakan seluruh umat manusia, tanpa memandang agama, suku, warna kulit, atau bahasa. Islam bukanlah Arab. Buktinya, dakwah Islam yang dibawa Rasulullah justru diawali penolakan orang-orang Arab juga karena dianggap tak sesuai budaya dan kebiasaan Jahiliyah saat itu.
Jika Islam Nusantara ditafsirkan dangkal dan emosional dengan mengabaikan Alquran dan as-Sunnah dengan menjadikan budaya lokal sebagai tolok ukur kebenaran dan keburukan maka istilah Islam Nusantara dikhawatirkan akan menjadi bagian propaganda neomodernisme alias "agama baru" dan "aliran baru". Sesuatu yang sedang disusupkan melalui para tokoh politik dan agama sebelum memasuki fase postmodernisme, yakni menghilangkan Islam dari bumi nusantara.
0 Komentar untuk "Islam dan Nusantara"