ads
ads

SYARI’AT,TARIQAT,HAKEKAT DAN MA’RIFAT (SECARA ETIMOLOGIS MAUPUN TERMINOLOGIS)

SYARI’AT,TARIQAT,HAKEKAT DAN MA’RIFAT (SECARA ETIMOLOGIS MAUPUN TERMINOLOGIS) 

 A. SYARI’AT 
Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Imam Malik berkata sebagaimana dikutip oleh Al-Ghazali “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.” Syari’at adalah perintah yang harus ditetapi dalam ibadah.  Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya. Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. 
Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam. Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT. Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya. Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”. Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani. Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul. Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”. 
Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU. 

B. TAREKAT Kata thariqah berarti jalan raya (road) atau jalan kecil (gang, path). Kata thariqah secara bahasa dapat diartikan metode, yaitu cara yang khusus dalam mencapai tujuan. Secata terminologi thariqah adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Tarekat secara harfiah berarti jalan menngacu keapada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan(muraqabah, zikir, wirid dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Thariqat menurut bahasa artinya jalan, cara, garis, kedudukan, keyakinan, dan agama. 
Kamus Modern Dictionary Arabic-English oleh Elias anthon dan Edward Elias, edisi IX, Kairo Tahun 1954 menyatakan bahwa thariqat ialah Way (cara atau jalan), method dan system of belief (metoda dan satu sistem kepercayaan). Tarikat atau tarekat berasal dari lafazh Arab thoriqoh artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan, ilmu batin, tasawuf. Perkataan tarikat (jalan bertasawuf yang bersifat praktis) lebih dikenal ketimbang tasawuf, khususnya dalam kalangan para pengikut awam yang merupakan bagian terbesar. 
Dalam buku Dimensi Mistik dalam Islam disebutkan bahwa Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi.  Menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah yang artinya jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah.  Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Setiap thariqah mempunyai syaikh, upacara ritual, dan dzikir tersendiri. Secara lengkap Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa istilah ’tarekat’ berasal dari kata Arab ’thariqah’. Sebagai suatu istilah generik, perkataan tarekat berarti ’jalan’ atau lebih lengkap lagi ’jalan menuju surga’ di mana waktu melakukan amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah SWT. 
Melengkapi pendapat di atas, Samsul Munir Amin, dalam Ilmu Tasawuf mengatakan tarekat (thariqah) mempunyai beberapa arti, antara lain jalan lurus (Islam yang benar, berbeda dari kekufuran dan syirik), tradisi sufi atau jalan spiritual (tasawuf), dan persaudaraan sufi. Pada arti ketiga, tarekat berarti organisasi sufi yang memiliki anggota dan peraturan yang harus ditaati, serta berpusat pada hadirnya seorang mursyid. Dalam tradisi keilmuan Islam, istilah tarekat sama sekali tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut tasawuf. Tentu saja tidak demikian sebaliknya, karena tasawuf bisa saja terpisah tanpa ada hubungan langsung dengan tarekat. Pada awal mulanya, tarekat belum ada di dalam agama Islam. Akan tetapi untuk memasuki dunia tasawuf, diperlukan satu jalan untuk dapat mencapai tujuan utama yang ingin dicapai oleh seseorang. 
Dari situ timbullah satu cara untuk mendaki satu maqam  ke maqam lainnya yang disebut tarekat. Tasawuf secara umum merupakan usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha ini biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang syaikh. Ajaran-ajaran tasawuf ini merupakan hakikat dari tarekat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf ialah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat ialah jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat yang telah berkembang dengan berbagai variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan guru kepada muridnya. Sejarah perkembangan tarekat dapat disimpulkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah tahap khanaqah. Khanaqah dalam istilah sufi/tarekat adalah sebuah tempat atau pusat pertemuan. 
Seorang Syekh hidup dengan muridnya dalam ikatan peraturan yang tidak terlalu ketat. Syekh menjadi mursyid atau guru. Amalan-amalan/zikir dan metode yang mereka lakukan tidak semuanya bersumber dari ajaran guru. Mereka melakukan kontemplasi kadang-kadang secara individu, kadang-kadang secara bersam-sama. Hal ini terjadi sekitar abad X Masehi. Kedua adalah fase tarekat. Pada fase ini ajaran-ajaran, metode, peraturan-peraturan sudah mulai terbentuk. Semua amalan yang dilakukan berpusat pada ajaran guru. Guru adalah sosok kharismatik yang wajib dipatuhi. Guru memiliki silsilah tarekatnya sampai kepada Rasulullah SAW. Dalam tahap ini para sufi mencapai kedekatannya kepada Tuhan dengan istilah-istilah tertentu seperti ma’rifat, mahabbah, dan sebagainya. Fase ini berlangsung sekitar abad XIII Masehi. Tahap ketiga adalah tha’ifiah yang terjadi sekitar abad XV Masehi. Pada masa ini terjadi transisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada tahap ini, tarekat memiliki arti lain yaitu organisasi sufi yang bertujuan melestarikan ajaran Syekh. Murid, setelah masa tertentu, tidak lagi harus bersama gurunya. Mereka boleh mendirikan cabang di tempat lain. Bahkan banyak cabang tarekat yang pada akhirnya baerbeda dengan tarekat asalnya.Dalam kaintan inilah muncul dan berkembangnya berbagai organisasi tarekat atau aliran tasawuf hingga saat ini. 
Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan khusus bagi salik (penempuh jalan ruhani) untuk mencapai kesempurnaan tauhid, yaitu ma’rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama, syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit dibandingkan mereka yang tidak melakukan disiplin diri. Pada tataran syariat, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu dominan, sehingga perlu adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam keteraturan dan menghargai hak-hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran tarekat kesadaran tentang milik pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih dominan, milikmu adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat kepemilikan hanya milik Allah.
 Dalam pandangan Sirhindi, tarekat adalah bagian dari syariat karena syariat punya tiga bagian, yaitu, pengetahun, tindakan, dan niat yang murni (ikhlas). Setiap salik harus mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat baik ranah ibadah mahdah maupun muamalah. Ketika ia sudah mengetahui, maka ia wajib melakukannya dengan ikhlas, yaitu semata-mata perbuatan itu ditujukan hanya untuk Allah. Inilah aspek batin syariat. Inti tauhid adalah ikhlas, dan untuk mempraktekan ikhlas tidaklah mudah. Hal itu disebabkan karena manusia cenderung memenuhi tuntutan pribadinya ketimbang memenuhi apa yang sudah Allah perintahkan dan Allah larang. Selain itu manusia mudah terjebak dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Maka diperlukan metode atau latihan-latihan untuk memantapkan ikhlas dalam setiap tindakannya (mukhlis), sehingga ikhlas itu menjadi bagian dari dirinya (mukhlas), metode itulah yang disebut tarekat. Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam mendaki tangga kesempurnaan tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang harus dilalui adalah tahapan taubat, yaitu berkomitmen untuk kembali kepada-Nya dengan melakukan apapun yang Dia syariatkan dan memurnikan tujuan dari tujuan-tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada juga yang mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada banyakan tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari ikhlas dan berakhir pada sikap rida sebagai buah pencapaian kesempurnaan tauhid. Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai pada hakikat, yaitu mujahadah, riyadhah, dan muhasabah. Mujahadah artinya berjuang dengan sungguh-sungguh, berupaya secara gigih dan berusaha dengan giat dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan syetan, agar hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu. Yang kedua adalah riyadhah. Riyadhah (Olah Ruhani) bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan tugas dan kewajiban kita sehari-hari, serta tidak harus menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap diri, keluarga, dan masyarakat sosial. Inti dari riyadhah adalah konsisten dan istikomah. Riyadhah bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa. Proses yang ketiga adalah muahasabah. Yang terakhir adalah muhasabah. Muhasabah adalah merenungkan dan menetapkan dengan membedakan apa yang tidak disenangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan apa yang disukai-Nya. Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang akan datang. Yang telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan dan apakah kita sudah mengabaikan hak-hak Allah? Sedangkan yang akan datang telah ditentukan oleh al-Qur’an dan sunnah nabi. Cara terbaik dalam muhasabah adalah dengan mengingat mati yang kemudian menghasilkan khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan). 
Adapun tarekat dalam bentuk institusi baru muncul  pada abad 11. Awalnya merupakan gerakan bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang sepaham pada awal-awal masa Islam, akhirnya tumbuh menjadi suatu kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar masyarakat Muslim. Kemunculan tarekat ini dikarenakan adanya hubungan antara mursyid-murid. Mursyid sebagai pembimbing yang mengarahkan murid (yang dibimbing) menuju hakikat sejati. Biasanya tarekat yang berkembang sekarang dinisbahkan pada mursyid tertentu yang dianggap punya metode tersendiri yang khas, seperti Suhrawardiyah diambil dari nama Abu Hafs as-Suhrawardi, Syazilliyah diambil dari Abul Hasan al-Syazili. Para pendiri tersebtu adalah para mursyid yang telah membuat kodifikasi serta melembagakan pengajaran dan praktik-praktik tarekatnya yang khas, meskipun pada banyak kasus reputasi mereka sebagai wali jauh melebihi lingkaran kelompoknya. 

C. HAKIKAT 
Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat (Haqiqah) seakar dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syari’at yang merupakan kenyataan eksoteris dan thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme, sementara hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial. Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi. 
Hakikat adalah kesaksian akan kehadiran peran serta ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan. Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan rahasia dari syari’at yang merupakan tujuan perjalanan salik. Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi akan eksistensi wujud baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan langsung pada substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan. Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan hakikat sebagai persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik. Sementara penafsiran Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana banyak para sufi menyebut diri mereka ‘ahl-haqiqah’ dalam pengertian sebagai pencerminan obsesi mereka terhadap ‘kebenaran yang hakiki’ (kebenaran yang esensial). Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj (w. 922) yang mengungkapkan kalimat ‘ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan). Obsesi terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula ‘la ilaha illa Allah’ yang mereka artikan ‘tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah’. Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada yang absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak hakiki atau nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan Tuhan. 
Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara Tuhan dan yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan pemberi wujud. Pernyataan ‘la ilaha illa Allah’ ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep ‘fana’ , atau ‘fana al-fana’ yang merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah. Fana’ dan baqa’ ini dipandang sebagai ‘stasion’ (maqam) terakhir yang dapat dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, “Lobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.” Fana’ dan Baqa’ sebagai ciri khas Hakikat Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj (w.922) yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan ‘Ana al-Haqq’ yang berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat ‘la ilaha illa Allah’ tidak lagi kita artikan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, melainkan ‘Tidak ada realitas (hakikat) yang sejati kecuali Allah’. Di sini dapat dipahami bahwa hanya Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu. Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. 
Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan ‘fana’. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqa’, saat ketika seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak  Persia, Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya sendiri, memakan dirinya sendiri. Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan gambaran seekor ngengat (yang diumpamakan sebagai jiwa manusia) yang sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin (yang diumpamakan sebagai Kebenaran) hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah konsep mengenai fana dan baqa’. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai ‘annihilation’, ‘extinction’, atau ‘cessation of being’, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa Arab tidak ada kata kerja ‘to be’, dan mengacu pada istilah Jerman tradisional Entwerden, ‘de- becoming’, sebagai yang lebih akurat. Nah, di sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar. Sebelum sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya. 
Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disenut Fana. Penghancuran dalam istilah sufi senantiasa diiringi oleh baqa artinya tetap, terus hidup, to remain; persevere) Fana dan baqa merupakan kembar dua.  Istilah Fana oleh kaum sufi dipakai untuk menandakan guguran sifat-sifat tercela, sedangkan baqa untuk menandakan ketampakan sifat-sifat terpuji.  Fana’ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika proses ini selesai, maka ‘baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi pun terbangun – kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, ‘kesatuan’ dengan Tuhan. Konsep mengenai fana’ dan baqa’ ini telah ditafsirkan sebagai kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas (salah satu pengertian dari tarekat) atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan Tuhan. 

D.MAKRIFAT 
Sebelum mendefinisikan Makrifat baik secara etimologis maupun terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat dari beberapa teori yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang mendekati istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai berikut: Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi berarti persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain. Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat; Tyll Zybura , menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim telah menguasai syari’at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat mengikuti thariqah dari mistik, dan ‘jalan’ yang mengantarkan pada pengetahuan yang lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan Hakikat, kebenaran, atau makrifat, gnosis. 
Karena keterbatasan akan pemahaman saya dalam menganalisa posisi antara makrifat dan hakikat, atau meninjau perbedaannya dari segi sudut pandangnya, maka saya akan memulai pembahasan makrifat ini dengan mengutip salah satu perkataan Rumi mengenai makrifat yang dipahami sebagai suatu stasion atau keadaan (state). First there is knowledge. Then there is asceticism. Then there is knowledge that comes after that asceticism. The ultimate ‘knower’ is worth a hundred thousand ascetics. Perkataan Jalal al-din Rumi dipahami bahwa pertama-tama ada pengetahuan. kemudian ada asketisisme. Kemudian ada pengetahuan yang datang setelah asketisisme tersebut. Meskipun penulis masih terbatas dalam memahami, menganalisis, maupun menafsirkan syair di atas.  Akan tetapi, berhubungan dengan makrifat yang dimaksud Rumi, maka saya beranjak pada makna makrifat itu sendiri secara etimologi maupun terminologi. 
Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’arifah, yang artinya adalah pengetahuan, pegalaman, atau pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu tasawuf, Makrifat diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau pengetahuan. Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya. Menurut Abu Bakar Az-Zahir Ubadi , Ma’rifat adalah nama artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap ateis dan kufur (ketidak pengakuan pada Tuhan dan keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan). Yang dimaksud dengan ma’rifat adalah melihatnya seseorang hamba dengan mata hati sanubari, karena dengan ma’rifat itu seorang hamba akan semakin dekat kepada allah swt, karena ia telah dapat memandang allah swt dengan ma’rifatnya itu.  Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari tritunggal bersama dengan makhafah (cemas terhadap Tuhan) dan mahabbah (cinta). Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual (thariqat). Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati. Gagasan mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu al-Nun al-Misri. 
Menurutnya makrifat ada 3 macam: 
1. Pertama, makrifat kalangan orang awam (orang banyak pada umumnya), tauhid melalui syahadat. 2. Kedua, makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena  alam ini, mereka mengetahui Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran. 
3. Ketiga, makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi dalam tasawuf. 
Dan makrifat inilah yang hendak dibahas dalam makalah yang singkat ini. Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam perjalanan menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan sebelumnya. Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syari’at, hukum Allah untuk kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa seseorang ke dalam hakikat (kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang seluruh eksistensi). 
Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang disebut ‘makrifat’ (pengetahuan). Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya makrifat sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan melihat Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan usaha keras dalam waktu yang panjang. Baik lewat meditasi, tazkiyatun nafs maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik.
0 Komentar untuk "SYARI’AT,TARIQAT,HAKEKAT DAN MA’RIFAT (SECARA ETIMOLOGIS MAUPUN TERMINOLOGIS)"

Back To Top