ads
ads

Manfaat Penulisan Historiografi dan Hagiografi dalam Dunia Sejarah Kehidupan Manusia

Penulisan Historiografi dan Hagiografi 

Dalam batas-batas tertentu, ketokohan di dunia Islam sangat diapresiasi oleh mereka yang berada di bawahnya, baik itu sebagai pengikutnya, muridnya, atau sebatas sebagai pengagumnya. 
Berikut ini beberapa model dan akar-akar tradisi penulisan sejarah tokoh dalam historiografi Islam, yang pada akhirnya sedikit banyak memberi pengaruh pada penulisan kitab manaqib (hagiografi), sebagai sebuah model mutakhir dari studi ketokohan sejarah di dunia Islam. 
  1. Tradisi Penulisan Model al-Ansâb Pengagungan terhadap keberadaan nasab (garis keturunan) merupakan tradisi Arab Jahiliyah yang diwarisi kaum muslimin dan menjadi cikal-bakal dalam mengembangkan tradisi ketokohan seseorang. Karena salah satu keberadaan status sosial seseorang terletak pada garis keturunannya. Bagi kebanyakan masyarakat Arab, kebanggaan pada suku merupakan ciri dari keberadaan status sosial yang memilikinya, meskipun pada saat itu (masa-masa pra Islam tradisi) al-ansậb hanya cukup dengan dihafal saja. Bangkitnya penulisan al-ansậb dimulai oleh aliran Iraq, dan menjadi sesuatu yang sangat penting ketika Bani Umayyah di Damaskus kembali melakukan legitimasi politik kearabannya dengan menempatkan posisi status kesukuan al-Quraisy sebagai pewaris politik dunia Islam satu-satunya yang syah saat itu. Kepentingan ini menjadi semakin kokoh ketika kebijakan arabisme yang digulirkannya menjadi mainstream politik umum, yang ingin menempatkan posisi orang-orang Arab menjadi sentral di pos-pos kekuasaan di wilayah-wilayah luar arab dibanding bangsa-bangsa lainnya. Meskipun pola penulisan ansab ini terus berlanjut dalam mengunggulkan ketokohan seseorang, namun setelah abad kesembilan Masehi, kepentingannya lebih bersifat melunak, karena etnik lain di luar Arab dalam tubuh pemerintahan Dinasti Abbasiyah terutama Persia dan Turki cukup dominan. Fungsinya lebih melebar dan mengembang bukan hanya dalam kepentingan politik saja, tapi juga masuk dan membentuk pada garis geneologi keilmuan. Tradisi penulisan al-ansab ini, kelak akan memberikan pengaruh dalam membentuk jalur-jalur genelogi keilmuan atau sanad-sanad keilmuan serta telah menunjang bagi pola penulisan biografi dan hagiografi dalam sejarah Islam. Kesan ini akan terasa nampak, bila tendensi pengagungan tokoh selalu dimulai dari cikal-bakal keluarga besar atau geneologi keluarga besarnya, guru-guru sebagai sanad (geneologi) periwayatan keilmuan dan sebagainya.
  2.  Tradisi Penulisan Model Sirah dan Tarjamah Kata al-Sỉrah secara semantik adalah perjalanan. Dalam kajian historiografi, al-sirah berarti studi tentang perjalanan kehidupan seseorang, atau biografi seorang tokoh. Nampaknya, munculnya studi tentang sejarah ketokohan di sunia Islam, telah dimulai dari tradisi penyanjungan pada seseorang yang berjasa di kalangan masyarakat Arab pra Islam pada tokoh-tokoh yang muncul di masing-masing kabilah. Mereka mengungkapkan tentang peran yang dilakukannya, nasab keturunannya dan beberapa aspek keistimewaan yang muncul dalam dirinya. Tradisi penyanjungan ini mereka ungkapkan dalam berbagai cerita lisan (al-riwặyat al-syafawiyat) hingga proses penyebarannya cukup mudah untuk bisa dikenal di kalangan masyarakat luas. Bagi kalangan masyarakat Arab Utara, tradisi penyanjungan ketokohan serta berbagai dinamika kabilah (suku) ini, pada akhirnya lebih dikenal dengan sebutan “ayyam al-‘Arab“, yang menjadi bagian integral dari carita rakyat Arab atau folklor Arab secara umum. Namun pada akhirnya isi dari folklor yang ada, bukan lagi hanya cerita tentang ketokohan seseorang di tiap-tiap kabilah, melainkan pula tentang berbagai cerita dan dinamika peperangan antar kabilah itu sendiri. Meskipun pada akhirnya cerita-cerita ini banyak dibumbui dengan berbagai unsur khayal yang bernuansa fiktif dan imajinatif. Dengan demikian, tradisi penyanjungan tokoh di kalangan masyarakat Arab, merupakan sebagai sesuatu yang cukup istimewa dan memiliki tempat yang sangat strategis untuk menunjukkan eksistensi sebuah kabilah. Sehingga sebagian dari akar-akar tradisi penyanjungan tokoh ini secara tidak langsung cukup berpengaruh pada historiografi Islam pada masa-masa awal Islam, terutam dalam menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat. Karena keberadaan dan keteladanan Nabi Muhammad SAW telah menempati ruang tersendiri secara khusus dimata pengikutnya, yang untuk selanjutnya bisa mendorong bagi terciptanya pembuatan dan penulisan sỉrah nabawy. Perbedaan yang paling mencolok antara model penulisan sirah dan tarjamah, jika yang pertama dalam menggambarkan biografi kehidupan seorang tokoh diuraikan secara lebih luas dan mendalam, sehingga seringkali muncul dalam satu buku tersendiri, hal ini terlihat misalnya dari berbagai bentuk Sirah al-Nabawiyah yang sangat lengkap dan dalam. Sedangkan tarjamah adalah model penulisan tokoh yang polanya bersifat ensiklopedis, ringkas, padat dan mencakup aspek-aspek penting tertentu dari tokoh yang digambarkannya. Tradisi penulisan tarjamah nampaknya telah dimulai dan digunakan untuk mengisi berbagai materi tentang ketokohan seseorang di berbagai kitab thabaqat. Karena corak penulisannya yang dianggap cukup ringan dan ringkas, maka kepentingan bagi para penulis ensiklopedi mengenai ketokohan telah terpenuhi secara praktis dan secara teoritis prinsipnya tidak meninggalkan aspek-aspek akademiknya. Karena pola penulisan tarjamah tetap menjaga aspek-aspek penting dari keistimewaan masing-masing tokoh yang dijelaskannya. Bahkan para penulis modern termasuk para editor naskah-naskah klasik, selalu mencantumkan biografi ringkas (tarjamah) penulis-penulis naskah tersebut di depan atau belakang naskahnya. Hal ini semakin mengukuhkan bahwa pola penulisan tarjamah ternyata banyak diminati karena dianggap cukup praktis dan mudah untuk kepentingan yang sifatnya permulaan dalam pengenalan seorang tokoh. 
  3. Tradisi Penulisan Model Thabaqat Arti kata thabaqat secara semantik adalah lapisan atau kurun. Kata qorn, nampaknya lebih awal dikenal dalam istilah bahasa Arab untuk istilah pembabakan generasi, namun para sejarawan awal nampaknya lebih senang mempopulerkannya dengan sebutan thabaqat. Pada perkembangan awal pembentukan dan penulisannya, pengertian thabaqat berarti sejumlah kumpulan tentang informasi berbagai biografi tokoh-tokoh periwayat hadits yang didasarkan pada pelapisan generasinya. Sebuah konsekwensi dari konsep penghormatan akan keberadaan orang-orang yang berada di sekitar Nabi Muhammad SAW, setingkat generasi para sahabat, tabi‘in, tabi‘it-tabi‘in dan seterusnya, yang berkedudukan sebagai perawi hadits. Keberadaan mereka menjadi sesuatu yang sangat penting bagi keberadaan status hadits, sehingga para ahli hadits perlu menuliskannya secara lengkap seluruh informasi tentang status ketokohan dan keberadannya. Kaitannya dengan hadits sebagai kitab petunjuk keislaman, maka kehadiran kitab al-thabaqat yang menjelaskan para perawi hadits, akhirnya menjadi bagian integral dari ulum al-hadits, yang posisinya berkait erat dengan keberadaan ilmu al-rijal, ilmu yang meneliti secara kritis tentang kedudukan dan posisi para perawi hadits yang berfungsi sebagai kritik isnad. Sehingga bisa dipastikan, pembagian biografi para perawi hadits yang terdiri dari lapisan sahabat Nabi SAW, tabi’in dan tabiit-tabiin ini, sebagai gagasan orisinil dalam tradisi keilmuan Islam untuk mengembangkan gagasan yang lebih intensif dan rekonstruktif ke arah penulisan sejarah studi tokoh. Kegiatan ini tidak berhenti sampai di sini, selanjutnya biografi-biografi para ulama-pun pada akhirnya dihimpun juga dalam bentuk dan jenis kitab-kitab thabaqat.Oleh karena jumlah biografi para tokoh ini sangat banyak, maka sejak awal perkembangannya-pun dalam penulisan thabaqat sudah mengenal pembagian tokoh yang akan diceritakannya berdasarkan wilayah domisilinya dan profesi kelompoknya semacam thabaqat Syafi’iyyah, thabaqat Hanabilah, thabaqat al-Shufiyyah, thabaqat Aththiba, thabaqat al-Syu’ara, thabaqat al-Nahwiyyỉn dan seterusnya. Dalam historiografi Islam, penulisan model thabaqat merupakan model yang paling terus bertahan dan cukup digemari para penstudi hingga kini, karena telah memberikan sumbangan yang sangat jelas dalam mempetakan dan menginformasikan kedudukan tokoh-tokoh Islam, baik sebagai perawi hadits, ulama madzhab (baik fiqh dan tasawuf) maupun sebagai tokoh-tokoh lain dalam posisi keilmuan tertentu. Kitab thabaqat lebih memudahkan dalam pencarian indeks ketokohan, keahlian dan posisi sosialnya.  1.Sejarah Lisan (Historiografi) Historiografi dalam arti luas merupakan sejarah penulisan sejarah yang berisi aktivitas manusia dan peradaban pada masa lampau yang di dalamnya terdapat sesuatu yang berkesinambungan, kausalitas dan perubahan yang di dalamnya terdapat teori dan metodologi yang isinya mempunyai kesatuan yang utuh. Historiografi adalah relistruksi imajinatif masa lampau manusia pada masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data-data yang diperoleh melalui proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Tradisi Lisan Sebelum sejarah ditulis oleh para pujangga pada zaman dahulu, sejarah sudah disampaikan melalui cerita. Cerita tersebut dikenal dengan tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil merupakan penyampaian sejarah melalui cerita lisan, sedangkan tradisi besar merupaka penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi kecil berlangsung sebelum ada Tulisan, belum ada bahasa sansekerta dan tulisan jawa. Kemudian melalui proses yang sangat panjang tradisi kecil tersebut berkembang menjadi tradisi besar, tentu saja seiring dengan ada dan berkembangnya tulisan bahasa sansekerta dan bahasa jawa. Penulisan sejarah yang ada sebagian besar ditemukan di istana, maka penulisan sejarah pada zaman dahulu bersifat istana sentris. Tradisi Tulisan Tradisi besar atau tradisi tulisan yaitu penyampaian sejarah melalui tulisan. Tradisi tulisan tentu saja ada setelah manusia mengenal tulisan. Tulisan yang menjadi sasaran penulis dipandang sebagai hasil budaya yang berupa cipta sastra. Tulisan yang berupa naskah itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat di dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan. Pesan yang terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan filsafat hidup masyarakat pendukungnya. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan, tetapi dapat pula tulisan cetakan. Dalam hal ini pujangga Nusantara memang harus menguasai bahasa dan aksara daerah Nusantara. Penulisan sejarah yang dilakukan pujangga-pujangga pada zaman dulu bertugas menjelaskan, menceritakan dan menulis untuk kepentingan sejarah dan menghadirkan kewenangan seorang raja, sehingga disusun lebih lengkap dan bermakna dan segi konsep keagamaan. Oleh karenanya, teks yang dibuat lebih cenderung bernuansa simbolik yang diragukan faktanya.
0 Komentar untuk "Manfaat Penulisan Historiografi dan Hagiografi dalam Dunia Sejarah Kehidupan Manusia"

Back To Top