ads
ads

Nilai-Nilai Moralitas Kepemimpinan Pendidikan

Nilai-Nilai Moralitas Kepemimpinan Pendidikan



Nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan.Nilai selalu mempunyai konotasi positif (Bertens, 2004:139).Nilai moral memiliki ciri-ciri (1) berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan manusia secara absulut yang tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal (Bertens, 2004: 143-147). Nilai moral berkaitan dengan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan (Wiramihardja, 2007:158).
Dalam buku berujudul Ethics yang ditulis oleh Harry J. Gensler (1998) dibahas sepuluh aliran yang memaknai kata “baik” sepertti dideskripsikan berikut ini.Aliran pertama adalah Cultural Relativism (Gensler, 1998: 11-20).Menurut aliran ini, baik dan buruk adalah relatif.Kata baik dimaknai sebagai sesuatu yang secara sosial telah disetujui oleh mayoritas dalam suatu budaya.Prinsip-prinsip moral didasarkan atas norma-norma masyarakat.Di sini tidak ada standar yang paling baik, setiap putusan yang benar atau salah adalah murni sebuah produk dari masyarakatnya.Aliran kedua adalah subjectivism (Gensler, 1998: 21-32). Menurut subjectivism, keputusan moral adalah penjelasan dari apa yang kita rasakan. Jika kita mengatakan sesuatu itu baik karena kita memang merasa bahwa sesuatu itu bagus.Di sini, moralitas sangat berkaitan dengan perasaan pribadi seseorang dan emosi yang dirasakan.Aliran ketiga adalah Supernaturalism (Gensler, 1998: 33-45).Supernaturalism mengatakan bahwa moral hukum menjelaskan kehendak Tuhan.Supernaturalism berpendapat bahawa Hukum moral Tuhan akan menjelaskan: "X adalah baik" berarti "Allah menghendaki X." Supernaturalism merupakan etika berdasarkan agama.Aliran keempat adalah Intuitionism (Gensler, 1998: 46-57).Intuitionism adalah aliran yang mengangkat persoalan moral berdasarkan intuisi.Menurut Intuitionism, kebenaran tidak dapat didefinisikan. Intuitionism mengakui adanya kebenaran objektif, akan tetapi kebenaran itu tidak dapat dijelaskan dan hanya diketahui secara langsung oleh orang yang peka atau dewasa moral berkat kemampuan intuitif mereka. Aliran kelima adalah Emotivism (Gensler, 1998: 58-70).Emotivism menyatakan bahwa masalah moral itu hanyalah perkara perasaan (emotion) saja.Emotivism melihat sebuah keputusan moral sebagai ekspresi perasaan, bukan pernyataan benar-benar “benar” atau “tidak benar”.Baik menurut emotivism merupakan ekspresi perasaan.Selanjutnya, aliran keenam adalah prescriptivism (Gensler, 1998: 71-83).Prescriptivism menyatakan bahwa ungkapan moral itu adalah keinginan yang diuniversalkan, misalnya penilaian “aborsi itu tidak bermoral”, merupakan ungkapan bahwa saya tidak akan melakukan aborsi sekaligus ajakan agar orang lain tidak melakukan aborsi. Aliran ketujuh adalah golden rule (Gensler, 1998: 103-121). Aliran ini memperlakukan orang lain atau kita karena kita diperlakukan dalam situasi yang sama. Jadi, menurut golden rule tindakan moral diterapkan dengan cara kita memperlakukan orang lain seperti kita diperlakukan oleh orang lain. Aliran kedelapan adalah moral rationality (Gensler, 1998: 122-137).Moral rationality memerlukan konsistensi, termasuk mengikuti kaidah.Moral rationality juga memerlukan unsur-unsur lainnya, seperti pengetahuan dan imajinasi. Pengajaran moral rationality akan membantu anak-anak untuk lebih rasional dalam berpikir moral mereka yang merupakan bagian penting dari pendidikan moral. Ini terutama penting untuk mengajar lima perintah moral berpikir rasional, yaitu (1) membuat keputusan yang tepat, (2) hidup harmonis dengan moral kepercayaan, yang membuat mirip dengan tindakan serupa, (4) menempatkan diri di tempat orang lain, dan (5) memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Aliran kesembilan adalah consequentialism (Gensler, 1998: 138:156).Consequentialism adalah aliran yang mengajarkan kepada kita untuk melakukan tindakan apa pun yang mempunyai konsekuensi atau dampak terbaik. Ada kalanya seorang consequentialism dapat melakukan kebohongan jika lebih dapat mendatangkan kebaikan.Aliran yang terkenal dari consequentialism adalah utilitarism, yang menyatakan bahwa kita harus melakukan sesuatu yang bisa memberikan dampak lebih baik dan menyingkirkan dampak yang tidak baik bagi tindakan kita.Aliran kesepuluh adalah nonconsequentialism (Gensler, 1998: 157-174).Nonconsequentialism mengatidakan bahwa beberapa jenis tindakan (seperti membunuh atau melanggar janji yang bersalah) yang salah dalam diri mereka sendiri, dan bukan hanya karena mereka telah salah konsekuensi buruk.Hal-hal seperti itu mungkin exceptionlessly salah, atau mungkin saja ada beberapa independen moral berat terhadap mereka.
0 Komentar untuk "Nilai-Nilai Moralitas Kepemimpinan Pendidikan"

Back To Top