ads
ads

Pemikiran Al-Ghazalai Tentang Hakekat Fitrah Manusia



Sebelum menjelaskan fitrah dalam perspektif Al-Ghazali, penulis akan terlebih dahulu akan mengemukakan pandangan para pemikir muslim berkenaan dengan hakekat fitrah. Hal ini bertujuan untuk menunjukan posisi pemikiran Al-Ghazali di tengah-tengah pemikiran muslim lainnya berkenaan dengan fitrah. Dengan demikian juga akan diketahui persamaan dan perbedaan antara pemikiran fitrah Al-Ghazali dan pemikiran fitrah para pemikir muslim. 
Secara sederhana fitrah dapat diartikn sebagai sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan. Dalam Ensiklopedia di Islam fitrah berarti beriman, tauhid kepada Allah kepatuhan (Ad-Din). Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, artinya dalam.keadaan bersih dari syirik, menurut Ibnu Taimiyah fitrah adalah naluri yang merupakan daya bawaan manusia sejak dilahirkan daya itu terdiri dari daya intelek (akal), daya nafsu (sahwat) dan daya marah (Al-Gadab).
Dalam kamus besar bahasa arab al-Munjid fitrah adalah4 Penciptaan sifat yang mensifati semua yang hidup di saat penciptaan. Al-Qurthubi dalam tafsirnya memaknai fitra yang terdapat dalam surat ar-Rum ayat 30 sebagai agama. Bagian mufasirin menafsirkannya dengan tauhidullah sedangkan sebagaian ahli fiqih memaknai fitrah sebagai kejadian sehingga dengan kejadian ini Allah menjadikan manusia mengetahuin tuhannya apabila telah berakal. 
Sedangkan Fadhil al-Jamaly menyatakan fitrah iala Kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni bagi setiap induvidu, kemampuan dan kecenderungan tersebut lahir dalam bentuk yang sangat sederhana dan sangat terbatas kemudian saling mempengaruhi dalam lingkungan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik atau sebaliknya.” 
Fitrah, akar katanya adalah “fatara” yang berarti cipta (penciptaan dan menciptakan, fitrah (masdar) bermakna ciptaan atau sifat dasar yang telah ada apa saat diciptakannya. Dalam Al-Qur’an terdapat kata fitrah tersebut sebanyak 19 ayat pada 17 surat dengan segala bentuk kata jadinya. 
Sebagaimana telah disebutkan bahwa kata fitrah dengan segala bentuk kata jadinya sebanyak 19 ayah pada 17 surat dari Al-Qur’an, sebagai representasi dari ayat-ayat tersebut, ada ayat pada surat Ar-Rum ayat 30 yang menimbulkan perbagai interprestasi tentang makna fitrah: 
Artinya :” Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas fitrah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah itu, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Di antara interprestasi dalam memahami makna fitrah dari ayat tersebut adalah bahwa fitrah berarti agama. Al-Qurthubi dalam karyanya “Tafsir Al_Qurthubi” kaitannya dengan memahami ayat di atas menyatakan bahwa yang bersandarkan pada Hadist Rasul : “Bukanlah Aku telah menceritakan kepadamu tentang sesuatu yang telah dikatakan Allah kepadaku dalam kitab-Nya, bahwa Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk tetap menjadi orang muslim”. Fitrah adalah agama yang telah ditetapkan Allah kepada manusia yaitu kewajiban setiap manusia untuk beragama (Islam) dan tiada sesuatu apapun yang dapat mengubahnya baik faktor endogen maupun eksogen, karena dalam ayat tersebut jelas termaktub “tiada perubahan apapun dalam penciptaan itu”, maka sangatlah tidak wajar jika ada manusia atau sekelompok orang yang tidak beragama, karena berarti ia telah mengingkari fitrahnya. 
Adapun interpretasi yang kedua adalah bahwa fitrah berarti tauhid. Setiap manusia dilahirkan dengan terklebih dahulu membuat consensus dengan sang khalik di dalam immateri (alam roh), kesepakatan berupa pengakuan akan keesaan Allah, yakni proses dialog antara roh dan sang pencipta sebelum ia dimunculkan kemuka bumi, Q.S. Al-a’raf: 172 berbunyi: 
Artinya : “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukanlah Aku Tuhanmu, mereka menjawab tentu (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari Kiamat kamu mengatakan “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini”. 
Ada dua bentuk penafsiran yang timbul dalam menginterpretasikan ayat ini, yang pertama mengatakan proses dialog antara Allah dengan manusia disaat diciptakannya, dikala ia dalam kandungan ibunya, dan pendapat kedua mengatakan bahwa proses dialog terjadi pada penciptaan Adam yang merupakan perwakilan manusia, karena Adam merupakan bapak moyang dan asal usul keturunan manusia.
Selanjutnya fitrah juga bisa berarti suci dan murni. Suci berarti bahwa manusia itu bersih, suci jasmani dan rohani dari segala dosa warisan atau dosa awal, seperti halnya yang dianut kaum nasrani. Sebagaimana dikatakan oleh Islami Raji Al-Faruqi bahwa manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih dan dapat menyusun drama kehidupannya, tak peduli dilingkungan, masyarakat, keluarga macam apapun ia dilahirkan, Islam tanggung jawab penembusan, serta keterlibatannya dalam kesukuan nasioanl ataupun internasional. Murni berarti keikhlasan dalam menjalankan suatu aktivitas. Asumsi ini berdasarkan hadist nabi: “Tiga perkara yang menjadi selamat, yaitu ikhlas berupa fitrah Allah dimana manusia diciptakan darinya, shalat berupa agama, dan taat berupa benteng penjagaan”.
Fitrah juga bisa berarti ketetapan terhadap manusia mengenai kebahagian dan kesengsaraan, keimanan dan kekufuran serta ketentuan nasib manusia di dunia. Dengan fitrah tersebut berarti manusia sudah ditentukan sejak kelahirannya, apakah ia akan menjadi orang yang beriman, bahagia atau malah sebaliknya, kafir dan sengsara. Ketetapan yang apabila ia baik maka ia husnul khatimah, walaupun pada awal permulaan ia sesat. Demikian pula jika ketetapannya jahat, maka ia akan suul khatimah. Namun pendapat ini tidaklah dapat dipegang karena mengandung absolutisme Tuhan dan mengingkari independensi (kebebasan) manusia dalam bertindak (free will and free act). Namun sebaliknya menyakini keterkekangan manusia (predestinasi). Pendapat ini nantinya menimbulkan faham Qodariyah dan Jabariyah.
Fitrah juga berarti potensi dasar, tabiat alami yang dimiliki manusia (Human nature) pada kondisi penciptaan manusia yang secara inheren cenderung menerima kebenaran. Manusia lahir dengan membawa karakteristik yang berbeda-beda karakter itu dapat berupa jiwa pada manusia atau hati sanubari yang dapat menghantarkan pada ma’rifatullah.
Sayid Quthub dalam Tafsir fi Dzilail Quran menjabarkan makna fitrah berupa jiwa kemanusiaan yang perlu dilengkapi dengan tabiat beragama, antara fitrah kejiwaan dan tabiat beragama merupakan relasi yang utuh, mengingat keduanya ciptaan Allah pada diri manusia sebagai potensi dasar manusia yang memberikan hikmah (wisdom), mengubah diri kearah yang lebih baik, mengobati jiwa yang sakit dan meluruskan diri dari rasa keberpalingan.

M. Anis, M.A berkomentar : Pertama, teori-teori tersebut lahir jauh setelah Al-Quran dan Hadist. Kedua, teori Nativisme mengakui adanya bakat itu, dapat bakat baik atau bakat jahat, tetapi teori fitrah mengungkapkan bahwa bakat itu baik yaitu tauhid. Teori Emperisisme tidak mengakui adanya pembawaan bakat sedangkan Konvergensi, manusia itu baik atau jahat.
Adapun Ibnu Taimiyah melihat fitrah manusia ada dua macam yaitu Fitrah Al-Munazzalah, yang berarti fitrah luar yang masuk pada diri manusia, yang berupa petunjuk Al-Qur’an dan An-Sunnah, digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah Al-Gharizah. Dan kedua, fitrah Al-Gharizah, fitrah Inheren dalam diri manusia yang member daya akal (Quwah Al-Aqal) yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
Demikianlah makna fitrah yang telah diinterprestasi sebagaian Ulama Islam. Namun, Al-Ghazali mempunyai formulasi sendiri dalam memahami fitrah. Menurut Al-Ghazali fitrah adalah suatu sifat dasar manusia yang dibekali sejak lahir dengan memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut :
Pertama, beriman kepada Allah. Ini dipertegas dalam ayat Al-Qur’an, surat Ar-Ruum ayat 30, seperti yang telah ditulis di atas. Dengan ayat tersebut Al-Ghazali menginterprestasikan bahwa setiap manusia diciptakan atas dasar tauhid (keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa), fitrah berarti beriman kepada Allah. Fitrah ini diciptakan Allah pada diri manusia karena dianggap sesuai dengan tabiat dasar manusia, yang bertendensi kepada agama tauhid. Al-Ghazali mempertegas dalam 
kitabnya “Mizanul Amal” : “Katakanlah bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, sesungguhnya manusia itu tentu mempercayai adanya Tuhan, hanya saja mereka keliru dalam kenyataan dan dalam sifatnya”.
Kedua, Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keburukan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran. Pendapat ini berlandaskan pada hadist : “Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi atau Nasrani ataupun Majusi.19
Ketiga, dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berpikir. Setiap manusia diciptakan dengan membawa dorongan rasa keingin tahuannya terhadap sesuatu, namun apakah keingintahuan itu digunakan dengan benar atau tidak adalah tergantung dari kebiasaan, pelatihan dan lingkunganya. Dalam Mizanul Amal Al-Ghazali menuliskan: “Adapun keistimewaan manusia yang karenanya ia diciptakan Allah adalah memiliki akal dan kekuatan menemukan hakekat perkara”.
Di dalam kitabnya yang terkenal “Al-Munqidz min Al-Dhalal” ia berkata; Aku selalu haus, ingin tahu dengan sebenarnya segala sesuatu. Demikian itu sejak masa mudaku merupakan suatu tabiat yang ditakdirkan Allah kepada diriku, bukan pilihan atau usahaku sendiri. Akhirannya terlepaslah jiwaku dari belenggu taklid dan terurailah dihadapanku kepercayaan-kepercayaan yang telah terpustaka, padahal itu aku masih muda. Demikian itu disebabkan karena aku melihat setiap manusia hanya mengikuti jejak orang tuanya saja untuk menjadi Kristen, Yahudi, Islam dan sebagainya. Dan aku telah dengar Sabda Rasulullah, tiap manusia itu lahir dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orang tuanya menjadikan dia Kristen, Yahudi atau Majusi. Karena itu lalu hatiku sangat tertarik untuk menyelidiki, apa sesungguhnya fitrah asli dan apa sebenarnya kepercayaan-kepercayaan yang timbul karena taqlid yang begitu berkesan kedalam hati anak manusia, tentang mana haq dan bathil. Timbullah berbagai pendapat yang sangat bertentangan”.

Dari beberapa interprestasi fitrah tersebut menunjukkan bahwa konsep atau formulasi fitrah Al-Ghazali mempunyai relevansi denga dunia pendidikan modern. Bahkan Al-Ghazali tidak menafikan peran faktor endogen dan eksogen yang juga sangat dominan dalam perkembangan anak manusia.
Namun pendapat Al-Ghazali tentang fitrah tersebut telah menimbulkan tanggapan yang berbeda dikalangan intelektual muslim, Mustafa Amin contohnya, ia mengatakan pemikiran Al-Ghazali tentang konsep fitrah dapat dikategorikan kedalam aliran tabularasa (emperisme).

Menurutnya, Al-Ghazali memungkiri adanya insting dan sifat keturunan, dan faktor bawaan yang diwariskan orang tua. Berbeda dengan Mustafa Amin, Syafaruddin Khattab mengatakan bahwa Al-Ghazali tidaklah menolak adanya insting dan sifat keturunan itu, bahkan Al-Ghazali mengakui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah faktor intern (heriditas) dan ekstern (meliu), faktor bakat dan ajar (pendidikan). Ini sangat sesuai dengan paham ilmu pengetahuan modern yakni aliran konvergensi yang dipelopori William Steren.
Berkaitan dengan faktor heriditas yang diwariskan orang tua pada anaknya, ada pentingnya faktor tersebut yang juga sangat menentukan proses perkembangan jiwa manusia, Al-Ghazali berkata :
Demikian pula halnya denga jiwa, pada mulanya diciptakan adalah tidak sempurna, tetapi mempunyai bakat untuk menerima kesempurnaan, dan akan tercapailah kesempurnaannya dengan pemeliharaan dan pendidikan budi pekerti yang baik dan diberi santapan ilmu pengetahuan”.
Al-Ghazali kemudian menambahkan bahwa apabila telah dipahami bahwa akhlak yang luhur itu dapat dihasilkan dengan watak (Al-Thab) dan bawaan, atau dengan melatih diri membiasakan berlaku baik dalam semua perbuatan, atau dengan belajar, dan mengikuti orang-orang yang telah berhasil mencapai derajat yang tinggi akhlaknya, yang dapat disebut ahli yang memiliki budi pekerti luhur dan ahli kebajikan, sebab antara watak yang baik maupun watak yang buruk, maka barang siapa telah dapat berhasil memiliki tiga hal tersebut di atas, yakni memiliki 
sifat yang baik dengan watak dan pembawaan dan juga dengan membiasakan diri, ditambah lagi dengan mengikuti orang-orang yang tinggi budi pekertinya, maka itu berarti telah sampai pada puncak keutamaan.
Al-Ghazali kemudian memperkuat argumennya dengan mengatakan bahwa fitrah seperti sebuah biji korma umpamanya, ia bukan pohon korma dan bukan pohon lainnya, tetapi ia diciptakan mempunyai daya untuk tumbuh dan berkembang, sehingga menjadi pohon korma yang sempurna, hal ini dapat terjadi demikian, apabila disertai oleh dan dengan tenaga pemeliharaan manusia. Tetapi biji kurma tersebut, sesuai dengan watak yang telah diciptakan Allah padanya, tidak akan menjadi pohon, selain pohon kurma, bagaimanapun juga manusia berusaha merubahnya untuk dapat menjadi pohon yang lain”.
Adapun mengenai besarnya pengaruh faktor eksternal dalam perkembangan fitrah manusia, yakni peran lingkungan yang diwakili oleh orang tua, Al-Ghazali berkomentar dalam Ihya’ Ulumuddin: “Hal yang mula-mula harus diketahui dan diperhatikan benar oleh orang tua ialah bahwa anak manusia itu pada dasarnya dapat menerima sifat yang baik dan sifat yang buruk, dan orang tuanyalah yang mendorong kearah salah satu dari kedua sisi tersebut”.
Dengan demikian orang tua adalah orang yang pertama dan utama dalam tanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak. Tanggung jawab pertama karena dalam keluarga inilah anak pertama kali menyandarkan hidup dan membutuhkan sentuhan kasih sayang, mendapatkan bimbingan, pengajaran dan pendidikan, karena sebagian besar kehidupan anak ada didalam keluarga, sehingga bimbingan, pendidikan dan pengajaran yang paling banyak diterima oleh anak adalah orang tuanya, tanpa mampu menyaring (selektif), atau menolaknya.
Peran orang tua menurut Al-Ghazali dalam mengajar dan mendidik anak tidak hanya terlepas pada pengajaran neraka dunia, namun lebih dari pada itu orang tua juga bertanggung jawab dalam menghantarkan anak agar terhindar dari neraka akhirat. Ia menyatakan sekalipun dalam hal ini, wali (orang tua) itu telah menjaga anak dari neraka dunia, tetapi harus pula menjaganya dari neraka akhirat yang lebih utama, seperti mendidik dan membentuk budi pekerti anaknya dengan akhlak yang baik, menjaganya dari pergaulan yang jelek.
Sebagai konsekuensi dari tanggung jawab orang tua atau pendidik terhadap pendidikan anak manusia, adalah ganjaran pahala yang sangat besar dan kedudukan yang mulia, jika si anak dapat berkembang dengan baik, artinya proses edukasi dapat berjalan dengan baik, diserap oleh anak manusia dan diaplikasikannya dalam pergaulan.
Konsep fitrah dalam pandangan Al-Ghazali ini ialah bahwa fitrah tidaklah bersifat netral pasif, melainkan good active dan dinamis, mengadakan reaksi dan responsive terhadap stimulus dari dunia luar. Al-Ghazali dalam menjabarkan respon (penerimaan) fitrah terhadap stimulus dengan menggunakan kata “qaabil” dan “mail”, dalam bentuk fail yang berarti bahwa ia berinteraktif terhadap rangsangan, bukan dengan kata “qubuul” atau “mail” dalam bentuk masdar yang bersifat pasif.
Dengan demikian fitrah mempunyai korelasi yang tak dapat dipisahkan dengan perkembangan jiwa, karena fitrah merupakan dasar dalam arti yang pertama dalam upaya pengembangan jiwanya untuk mencapai fitrah yang hakiki, yaitu tauhidullah. Fitrah berarti potensi dasar manusia disatu sisi dan berarti tauhid, rasa beragama disisi yang lain, sedangkan perkembangan adalah proses dimana jiwa berinteraksi. Berarti dengan fitrah, manusia menuju kepada fitrahnya yang hakiki.

0 Komentar untuk "Pemikiran Al-Ghazalai Tentang Hakekat Fitrah Manusia"

Back To Top